MAKALAH
KEPERAWATAN KOMUNITAS III
“ASUHAN
KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN SOSIOCULTURAL”
Oleh
:
- Elly Elvira ( 101.0035 )
- Fitria Gita N. ( 101.0043)
- M. Faris S.B ( 101.0073)
- Najmi Layalia ( 101.0075 )
Program
Studi S1-Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah
SURABAYA
2013
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi yang banyak membawa perubahan terhadap
kehidupan manusia baik dalam hal perubahan pola hidup maupun tatanan
sosial termasuk dalam bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam
suatu hal yang berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang
dianut oleh masyarakat yang bermukim dalam suatu tempat tertentu.
Pengaruh sosial budaya dalam
masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam
masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah
tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir.
Perubahan sosial dan budaya bisa memberikan dampak positif maupun
negative.
Hubungan antara budaya dan
kesehatan sangatlah erat hubungannya, sebagai salah satu contoh
suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan dengan cara
pengobatan tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan atau
kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan
penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena
itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan
kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses
terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau
budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.
1.2.
Rumusan Masalah
- Apa definisi lansia ?
- Bagaimana aspek sosial budaya yang berkaitan dengan pengaruh sosial budaya pada pasien lansia ?
- Bagaimana cara mengkaji tentang mata rantai antara kebudayaan dan kesehatan ?
- Apa saja pengaruh sosial budaya terhadap kesehatan pada pasien lansia ?
- Bagaimana cara mengkaji tentang kebudayaan dan perubahannya ?
- Aspek sosial dan kultural apa saja yang mempengaruhi pelayanan kesehatan lansia ?
- Apa saja konsep - konsep yang relevan dengan budaya ?
- Bagaimana konsep dasar M.Leininger ?
- Bagaimana Asuhan Keperawatan pada lansia dengan gangguan sosial kultural?
1.3.
Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan
keperawatan lansia dari aspek sosial budaya .
1.3.2 Tujuan Khusus
- Agar penyusun lebih mengetahui tentang peran sosial dan budaya lansia.
- Sebagai bahan referensi yang terkait mengenai askep lansia.
- Sebagai bahan belajar dan pengetahuan tentang penanganan lansia dalam lingkungan sosial .BAB 2PEMBAHASAN2.1 Pengertian LansiaLansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuaan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000). Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua adalah fase akhir dari rentangkehidupan.Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004).Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU no 4 tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000) sedangkan menuru UU no.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).Lansia (lanjut usia) adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994).Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998).Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat.Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Suara Pembaharuan 14 Maret 1997).2.2 Pengertian SosialSosial dapat berarti kemasyarakatan. Sosial adalah keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap anda bertemu orang meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika anda sedang menelpon, atau chatting (ngobrol) melalui internet. Pun bahkan setiap kali anda membayangkan adanya orang lain, misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman, membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang, semuanya itu termasuk sosial. Sekarang, coba anda ingat-ingat situasi dimana anda betul-betul sendirian. Pada saat itu anda tidak sedang dalam pengaruh siapapun. Bisa dipastikan anda akan mengalami kesulitan menemukan situasinya. Jadi, memang benar kata Aristoteles, sang filsuf Yunani, tatkala mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir semua aspek kehidupan manusia berada dalam situasi sosial.2.2.1 Interaksi SosialInteraksi sosial adalah keadaan dimana seseorang melakukan hubungan saling berbalas respon dengan orang lain. Aktivitas interaksinya beragam, mulai dari saling melempar senyum, saling melambaikan tangan dan berjabat tangan, mengobrol, sampai bersaing dalam olahraga. Termasuk dalam interaksi sosial adalah chatting di internet dan bertelpon atau saling sms karena ada balas respon antara minimal dua orang didalamnya.Berdasarkan sifat interaksi antara pelakunya, interaksi sosial dibedakan menjadi dua, yakni interaksi yang bersifat akrab atau pribadi dan interaksi yang bersifat non-personal atau tidak akrab. Dalam interaksi sosial akrab terdapat derajat keakraban yang tinggi dan adanya ikatan erat antar pelakunya. Hal itu mencakup interaksi antara orangtua dan anaknya yang saling menyayangi, interaksi antara sepasang kekasih, interaksi antara suami dengan istri, atau interaksi antar teman dekat dan saudara.Sebagian besar interaksi sosial manusia adalah interaksi sosial tidak akrab. Umumnya interaksi dalam situasi kerja adalah interaksi tidak akrab. Termasuk juga ketika anda mengobrol dengan orang yang baru saja anda kenal, interaksi antar sesama penonton sepakbola di stadion, interaksi dalam wawancara kerja, interaksi antara penjual dan pembeli, dan sebagainya.2.3 Peran pada LansiaSama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan baru demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini, dimana efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai, mengakibatkan orang lansia sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Karena mereka tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang tertentu dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan sikap sosial terhadap mereka tidak menyenangkan.Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya dalam urusan masyarakat dan sosial. Demikian juga dengan dunia usaha dan profesionalisme. Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia, dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih dilakukannya.Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian yang mereka hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan mereka. Perasaan tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia menumbuhkan perasaan rendah diri dan kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses penyesuaian sosial seseorang.Sosial disini yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan lainnya.2.3.1 Peran dalam Sosial MasyarakatSebagian besar tugas perkembangan usia lanjut lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Orang tua diharapkan untuk menyesuaiakan diri dengan menurunkan kekuatan, dan menurunnya kesehatan secara bertahap. Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka juga diharapkan untuk mencari kegiatan untuk menganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktu dikala masih muda dahulu.Bagi beberapa lansia berkewajiban mengikuti rapat yang meyangkut kegiatan sosial dan kewajiban sebagai warga negara sangat sulit dilakukan karena kesehatan dan pendapatan yang menurun setelah mereka pensiun. Akibat dari menurunnya kesehatan dan pendapatan, maka mereka perlu menjadwalkan dan menyusun kembali pola hidup yang sesuai dengan keadaan saat itu, yang berbeda dengan masa lalu.2.4 Perubahan Dalam Peran Sosial di MasyarakatAkibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti anak kecil.Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri, seringkali menjadi terlantar.2.5 Permasalahan Sosial terkait Kesejahteraan LansiaBerbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pencapaian kesejahteraan Lanjut Usia, antara lain sebagai berikut :
- Permasalahan
- Masih besarnya jumlah Lajut Usia yang berada dibawah garis kemiskinan.
- Makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dan dihormati, berhubung terjadi perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada bentuk keluarga kecil.
- Lahirnya kelompok masyarakat industri, yang memiliki ciri kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan efisien, yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lanjut usia.
- Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia dan masih terbatasnnya sarana pelayanan dan fasilitas khusus bagi lanjut usia dengan berbagai bidang pelayanan pembinaan kesejahteraan lanjut usia.
- Belum membudaya dam melembaganya kegiatan pembinaan kesejateraan lanjut usia
- Permasalahan Khusus
Menurut Departemen Sosial Republik
Indonesia (1998), berbagai permasalahan khusus yang berkaitan dengan
kesejahteraan lanjut usia adalah sebagai berikut:
- Berlangsungnya proses menjadi tua, yang berakibat timbulnya masalah baik fisik, mental maupun sosial. Mundurnya keadaan fisik yang menyebabkan penuaan peran sosialnya dan dapat menjadikan mereka lebih tergantung kepada pihak lain.
- Berkurangnya integrasi sosial Lanjut Usia, akibat produktivitas dan kegiatan Lanjut Usia menurun. Hal ini berpengaruh negatif pada kondisi sosial psikologis mereka yang merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh masyarakat lingkungan sekitarnya.
- Rendahnya produktivitas kerja lanjut usia dibandingkan dengan tenaga kerja muda dan tingkat pendidikan serta ketrampilan yang rendah, menyebabkan mereka tidak dapat mengisi lowongan kerja yang ada, dan terpaksa menganggur.
- Banyaknya lanjut usia yang miskin, terlantar dan cacat, sehingga diperlukan bantuan dari berbagai pihak agar mereka tetap mandiri serta mempunyai penghasilan cukup.
- Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan masyarakat individualistik, sehingga Lanjut Usia kurang dihargai dan dihormati serta mereka tersisih dari kehidupan masyarakat dan bisa menjadi terlantar.
- Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak lingkungan, polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan fisik lanjut usia.
2.6
Konsep-konsep yang Relefan dengan Budaya
a. Holisme / Seutuhnya.
Antropologi percaya bahwa
kebudayaan adalah fungsi yang terintegrasi seluruhnya dengan bagian
interelasi dan interdependensi. Demikian juga budaya lebih baik
dipandang dan dianalisa secara menyeluruh. Berbagai komponen dari
budaya seperti politik, ekonomi, agama, persaudaraan dan system
kesehatan, melakukan fungsi yan terpisah tetapi kemudian bercampur
membentuk perbuatan yang menyeluruh. Jadi untuk mengetahui system
dari seseorang harus memandang masing-masing hubunganya dengan orang
lain dan dari keseluruhan kulturnya (Benedict, 1934).
Perubahan budaya biasanya
mengundang tantangan – tantangan baru dan berbagai masalah.
Perubahan meliputi adaptasi kreatif dari perilaku yang terdahulu yang
disebabkan Karena bahasa, adapt, kepercayaa, sikap, tujuan, undang –
undang, tradisi dank ode moral. Pada saat yang terdahulu sudah keluar
dari mode atau kurang bias diterima dan menjadi sumber konflik yang
potensial (Elling, ((1977).
b. Enkulturasi
Adalah proses mendapatkan
pengetahuan dan menghayati nilai-nilai. Melalui proses ini oran bias
mendapatkan kompetensi dari budayanya sendiri. Anak-anak melihat
orang tua dan mengambil kesimpulan tentang peraturan demi perilaku.
Pola- pola perilaku menyajikan penjelasan untuk kejadian dalam
penghidupan seperti, dilahirkan, maut, remaja, hamil, membesarkan
anak, sakit penyakit .
c. Etnosentris
Adalah suatu kepercayaan bahwa
hanya sendiri yang terbaik. Sangat penting bagi perawat untuk tidak
berpendapat bahwa hanya caranya sendiri yang terbaik dan menganggap
ide orang lkain tidak diketahui atuau di pandang rendah.
d. Stereotip
Stereotip atau sesuatu yang
bersifat statis / tetap merupakan kepercayaan yang dibesar –
besarkan dan gambaran yang dilukiskan dengan populer dalam media
massa dan ilmu kebangsaan. Sifat ini juga menyebabkan tidak
bekembangnya pemikiran seseorang.
e. Nilai – nilai Budaya
Sistem budaya mengandung berbagai
orientasi nilai. Nilai merupakan bentuk kepercayaan bagaimana
seseorang harus berperilaku , kepercayaan adalah sesuatu pertanyaan
yang tujuannya berpegang kepada kebenaran tapi mungkin boleh atau
tidak boleh berlandaskan kenyataan empiris. Salah satu elemen yang
paling penting terbangun dalam budaya dan nilainya. Nilai ini bersama
– sama memiliki budaya yang paling penting terbangun dalam budaya
dan nilainya. Nilai ini bersama memberikan stabilitas dan keamanan
budaya, menyajikan standart perilaku. Bila dua orang bersama – sama
memiliki budaya yang serupa dan pengalamanya cenderung serupa nilai –
nilai mereka akan serupa , walaupun dua orang tersebut tidak mungkin
pola nilai yang tetap serupa , namun mereka cukup serupa untuk
mengenal kesamaan dan utuk mengidentifkasi” yang lain sama sepeti
saya” (Gooenough, 1966) .
Konsep budaya menurut Linton
adalah : suatu tatanan pola perilaku yang dipelajari, diciptakan,
serta ditularkan di antara suatu anggota masyarakat tertentu .
Batasan budaya menurut Koentjaraningrat adalah : keseluruhan system
gagasan , tindakan dan Hasil karyamanusia, dalam rangka kehidupan
bermasyarakat, yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.Karakteristik budaya menurut TO. Ihromi adalah :
- Budaya diciptakan dan ditransmisikan lewat proses belajar .
- Budaya dimiliki bersama oleh sekelompok manusia dan merupakan pola kelakuan umum.
- Budaya merupakan mental blue print.
- Penilaian terhadap budaya bersifat relatif . Budaya bersifat dinamis, adaptif dan integratif.Pemahaman akan konsep budaya, membawa kita pada kesimpulan bahwa gagasan, perasaan dan perilakumanusia dalam kehidupan sosialnya sangat dipengaruhi oleh budaya yang berlaku di masyarakat. Demikianpula pergeseran ataupun perubahan pada tatanan budaya dalam suatu masyarakat akan diiringi denganperubahan perilaku dari individu yang hidup di dalamnya.Budaya tercipta sebagai upaya manusia untuk beradaptasi terhadap masalah -masalah yang timbul dari lingkungan hidupnya. Selanjutnya budaya mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian manusia dalam kelompoknya. Interaksi keduanya membentuk suatu pola spesifik perilaku, proses pikir,emosi dan persepsi individu atau kelompok dalam bereaksi terhadap tekanan-tekanan kehidupan. Dengan demikian dapat dimengerti peranan budaya dalam masalah kesehatan jiwa.
2.7
Perbedaan Budaya
Sesungguhnya karena tradisi
berbeda budaya dan peningkatan mobilitas dan memiliki standart
perilaku yang sama. Individu yang dibesarkan dalam kelompok seperti
itu mengikuti budaya oleh norma-norma yang menentukan jalan pikiran
dan perilaku mereka .
a. Kolektifitas Etnis
adalah kelompok dengan asal yang umum, perasaan identitas dan
memiliki standart perilaku yang sama. Individu yang bedasarkan dalam
kelompok seperti itu mengikuti budaya oleh norma-norma yang
menentukan jalan ikiran dan perilaku mereka ( Harwood, 1981 ) .
b. Shok Budaya
adalah salah satu sebab karena bekerja dengan individu yang latar
belakang kulturnya berbeda. Shock budaya sebagai perasaan yang tidak
ada yang menolong ketidaknyamanan dan kondisi disoirentasi yang
dialami oleh orang luar yang berusaha beradaptasi secara komprehensif
atau secara efektif dengan kelompok yang berbeda akibat akibat
paraktek nilai-nilai dan kepercayaan.( Leininger, 1976). Perawat
dapat mengurangi shock budaya dengan mempelajari tentang perpedaan
kelompok budaya dimana ia terlibat. Pemting untuk perawat
mengembangkan hormat kepada orang lain yang berbeda budaya sambil
menghargai perasaan dirinya. Praktik perawatan kesehatan memerlukan
toleransi kepercayaan yang bertentangan dengan perawat.
c. Pola Komunikasi
Kendala yang paling nyata timbul
bila kedua orang berbicara dengan bahasa ang berbeda. Kebiasaan
berbahasa dari klien adalah salah satu cara untuk melihat isi dari
budaya. Menurut Kluckhohn,1972, bahwa tiap bahasa adalah merupakan
jalan khusus untuk meneropong dan interprestasi pengalaman tiap
bahasa membuat tatanan seluruhnya dari asumsi yang tidak disadari
tetang dunia dan penghidupan. Kendala untuk komunkasi bisa saja
terjadi walaupun individu berbicara dengan bahasa yang sama. Perawat
kadang kesulitan untuk menjelaskan sesuatu dengan bahasa yang
sederhana, bebas dari bahasa yang jlimet yang klien bisa menagkap.
Sangat penting untuk menentukan ahwa pesan kita bisa diterima dan
dimengerti maksudnya .
d. Jarak Pribadi dan Kontak
Jarak pribadi adalah ikatan yang
tidak terlihat dan fleksibel. Pengertian tentang jarak pribadi bagi
perawat kesehatan masyarakat memungkinkan proses pengkajian dan
peningkatan interaksi perawat klien. Profesional kesehatan merasa
bahwa mereka mempunyai ijin keseluruh daerah badan klien. Kontak yang
dekat sering diperlukan perawat saat pemeriksaan fisik, perawat
hendaknya berusaha untuk mengurangi kecemasan dengan mengenal
kebutuhan individu akan jarak dan berbuat yang sesuai untuk
melindungi hak privasi.
e. Padangan Sosiokultural tentang Penyakit dan
Sakit
Budaya mempengaruhi harapan dan
persepsi orang mengenai gejala cra memberi etika kepada penyakit,
juga mempengaruhi bilamana, dan kepada siapa mereka harus
mengkomunikasikan masalah – masalah kesehatan dan berapa lama
mereka berada dalam pelayanan. Karena kesehatan dibentuk oleh faktor
– faktor budaya, maka terdapat variasi dari perilaku pelayanan
kesehatan, status kesehatan, dan pola – pola sakit dan pelayanan
didalam dan diantara budaya yang berbeda – beda.
Perilaku pelayanan kesehatan
merujuk kepada kegiatan-kegiatan sosial dan biologis individu yang
disertai penghormatan kepada mempertahankan akseptabilitas status
kesehatan atau perubahab kondisi yang tidak bisa diterima. Perilaku
pelayanan kesehatan dan status kesehatan saling keterkaitkan dan
sistem kesehatan ( Elling, 1977 ).
2.8 Hubungan sosial budaya
dengan lansia
Kebudayaan merupakan sikap hidup
yang khas dari sekelompok individu yang dipelajari secara turun
temurun , tetapi sikap hidup ini ada kalanya malah mengundang resiko
bagi timbulnya suatu penyakit . Kebudayaan tidak dibatasi oleh suatu
batasan tertentu yang sempit , tetapi mempunyai struktur-struktur
yang luas sesuai dengan perkembangan dari masyarakat itu sendiri.
Kebudayaan yang dianut oleh
masyarakat tertentu tidaklah kaku dan bisa untuk di rubah,
tantangannya adalah mampukah seorang perawat memberikan penjelasan
dan informasi yang rinci tentang pelayanan kesehatan asuhan
keperawatan yang akan di berikan kepada lansia .
Sikap budaya terhadap warga usia
lanjut mempunyai implikasi yang dalam terhadap kesejahteraan fisik
maupun mental mereka. Pada masyarakat tradisional warga usia lanjut
ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, sebagai Pinisepuh atau
Ketua Adat dengan tugas sosial tertentu sesuai adat istiadatnya,
sehingga warga usia lanjut dalam masyarakat ini masih terus
memperlihatkan perhatian dan partisipasinya dalam masalah - masalah
kemasyarakatan. Hal ini secara tidak langsung berpengurah kondusif
bagi pemeliharaan kesehatan fisik maupun mental mereka.
Sebaliknya struktur kehidupan
masyarakat modern sulit memberikan peran fungsional pada warga usia
lanjut,posisi mereka bergeser kepada sekedar peran formal, kehilangan
pengakuan akan kapasitas dan kemandiriannya. Keadaan ini menyebabkan
warga usia lanjut dalam masyarakat modern menjadi lebih rentan
terhadap tema - tema kehilangan dalam perjalanan hidupnya. Era
globalisasi membawa konsekuensi pergeseran budaya yang cepat dan
terus – menerus , membuat nilai - nilai tradisional sulit
beradaptasi. Warga usia lanjut yang hidup pada masa
sekarang,seolah-olah dituntut untuk mampu hidup dalam dua dunia yakni
: kebudayaan masa lalu yang telah membentuk sebagian aspek dari
kepribadian dan kekinian yang menuntut adaptasi perilaku. Keadaan ini
merupakan ancaman bagi integritas egonya, dan potensial mencetuskan
berbagai masalah kejiwaan .
2.9 Mata Rantai Antara
Kebudayaan dan Kesehatan Lansia
Didalam masyarakat sederhana,
kebiasaan hidup dan adat istiadat dibentuk untuk mempertahankan hidup
diri sendiri dan kelangsungan hidup suku mereka. Berbagai kebiasaan
dikaitkan dengan kehamilan, kelahiran, pemberian makanan bayi, yang
bertujuan supaya reproduksi berhasil, ibu dan bayi selamat. Dari
sudut pandang modern ,tidak semua kebiasaan itu baik. Ada beberapa
yang kenyataannya malah merugikan.
Menjadi sakit memang tidak
diharapkan oleh semua orang apalagi penyakit-penyakit yang berat dan
fatal. Masih banyak masyarakat yang tidak mengerti bagaimana penyakit
itu dapat menyerang seseorang. Ini dapat dilihat dari sikap mereka
terhadap penyakit tersebut. Ada kebiasaan dimana setiap orang sakit
diisolasi dan dibiarkan saja. Kebiasaan ini ini mungkin dapat
mencegah penularan dari penyakit-penyakit infeksi seperti cacar dan
TBC.
Bentuk pengobatan yang di berikan
biasanya hanya berdasarkan anggapan mereka sendiri tentang bagaimana
penyakit itu timbul. Kalau mereka menganggap penyakit itu disebabkan
oleh hal-hal yang supranatural atau magis, maka digunakan pengobatan
secara tradisional. Pengobatan modern dipilih bila meraka duga
penyebabnya adalah faktor ilmiah. Ini dapat merupakan sumber konflik
bagi tenaga kesehatan, bila ternyata pengobatan yang mereka pilih
berlawanan dengan pemikiran secara medis.
Didalam masyarakat industri modern
iatrogenic disease merupakan problema. Budaya menuntut merawat
penderita di rumah sakit, pada hal rumah sakit itulah tempat ideal
bagi penyebaran kuman-kuman yang telah resisten terhadap anti biotika
.
2.
10 Permasalahan Aspek Sosial Budaya
Menurut Setiabudhi (1999),
permasalahan sosial budaya lansia secara umum yaitu masih besarnya
jumlah lansia yang berada di bawah garis kemiskinan, makin melemahnya
nilai kekerabatan sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut
kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati, berhubung terjadi
perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah
pada bentuk keluarga kecil, akhirnya kelompok masyarakat industri
yang memiliki ciri kehidupan yang lebih bertumpu kepada individu dan
menjalankan kehidupan berdasarkan perhitungan untung rugi, lugas dan
efisien yang secara tidak langsung merugikan kesejahteraan lansia,
masih rendahnya kuantitas tenaga professional dalam pelayanan lansia
dan masih terbatasnya sarana pelayanan pembinaan kesejahteraan
lansia, serta belum membudayanya dan melembaganya kegiatan pembinaan
kesejahteraan lansia .
2.10.1 Kebudayaan dan
Perubahannya
Tentu saja kebudayaan itu tidak
statis , kecuali mungkin pada masyarakat pedalaman yang terpencil .
Hubungan antara kebudayaan dan kesehatan lansia biasanya dipelajari
pada masyarakat yang terisolasi dimana cara - cara hidup mereka tidak
berubah selama beberapa generasi , walaupun mereka merupakan sumber
data - data biologis yang penting dan model antropologi yang berguna
, lebih penting lagi untuk memikirkan bagaimana mengubah kebudayaan
mereka itu. Pada Negara dunia ke 3 laju perkembangan ini cukup cepat,
dengan berkembangnya suatu masyarakat perkotaan dari masyarakat
pedesaan. Ide-ide tradisional yang turun temurun, sekarang telah di
modifikasi dengan pengalaman-pengalaman dan ilmu pengetahuan baru.
Sikap terhadap penyakit pun banyak mengalami perubahan .Kaum muda
dari pedesaan meninggalkan lingkungan mereka menuju kekota. Akibatnya
tradisi budaya lama di desa makin tersisih. Meskipun lingkungan dari
masyarakat kota modern dapat di kontrol dengan tekhnologi, setiap
individu didalamnya adalah subjek dari pada tuntutan ini, tergantung
dari kemampuannya untuk beradaptasi.
Problema dalam menganalisa
perubahan kebudayaan apakah memberikan dampak yang sangat besar sulit
diukur, sebagai contoh kenaikan tekanan darah pada para penduduk yang
berimigrasi ke kota. Kenyataan ini tidak dapat di pungkiri . Bila
mana budaya itu berubah suatu adaptasi yang sukses tidak hanya
tergantung pada Setiap masyarakat faktor lingkungan dan biologis.
Kemampuan untuk memodifikasi beberapa segi budaya juga penting .
2.10.2 Kebudayaan dan Asuhan
Keperawatan pada Lansia
Bila suatu bentuk pelayanan
kesehatan baru diperkenalkan ke dalam suatu masyarakat dimana
faktor-faktor budaya masih kuat. Biasanya dengan segera mereka akan
menolak dan memilih cara pengobatan tradisional sendiri. Apakah
mereka akan memilih cara baru atau lama, akan memberi petunjuk kepada
kita akan kepercayaan dan harapan pokok mereka lambat laun akan sadar
apakah pengobatan baru tersebut berfaedah , sama sekali tidak
berguna, atau lambat memberi pegaruh. Namun mereka lebih menyukai
pengobatan tradisional karena berhubungan erat dengan dasar hidup
mereka. Maka cara baru itu akan dipergunakan secara sangat terbatas,
atau untuk kasus-kasus tertentu saja.
Pelayanan kesehatan yang modern
oleh sebab itu harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat, akan
sia-sia jika ingin memaksakan sekaligus cara-cara modern dan menyapu
semua cara-cara tradisional . Bila tenaga kesehatan berasal dari lain
suku atau bangsa, sering mereka merasa asing dengan penduduk setempat
. ini tidak akan terjadi jika tenaga kesehatan tersebut berusaha
mempelajari kebudayaan mereka dan menjembatani jarak yang ada
diantara mereka. Dengan sikap yang tidak simpatik serta tangan besi,
maka jarak tersebut akan semakin lebar. Setiap masyarakat mempunyai
cara pengobatan dan kebiasaan yang berhubungan dengan ksehatan
masing-masing. Sedikit usaha untuk mempelajari kebudayaan mereka
akan mempermudah memberikan gagasan yang baru yang sebelumnya tidak
mereka terima.
Pemuka - pemuka di dalam
masyarakat itu harus diyakinkan sehingga mereka dapat memberikan
dukungan dan yakin bahwa cara - cara baru tersebut bukan untuk
melunturkan kekuasaan mereka tetapi sebaliknya akan memberikan
manfaat yang lebih besar .Pilihan pengobatan dapat menimbulkan
kesulitan. Misalnya , bila pengobatan tradisional biasanya mengunakan
cara-cara menyakitkan seperti mengiris-iris bagian tubuh atau dengan
memanasi penderita , akan tidak puas hanya dengan memberikan pil
untuk diminum . Hal tersebut diatas bisa menjadi suatu penghalang
dalam memberikan pelayanan kesehatan, tapi dengan berjalannya waktu
mereka akan berfikir dan menerima.
2.10.3 Sosial dan Kultural yang
Mempengaruhi Asuhan Keperawatan Pada Lansia
Yang dipakai sebagai pokok
pembicaraan dari bab ini adalah tentang kesehatan lansia yang bukan
hanya berdasarkan pengetahuan dari penyakit fisik saja , tetapi juga
atas pengaruh dari sosial kultural . Sering kali perawat harus
merencanakan dan memberikan asuhan kepada individu / keluarga ‘pasien
lansia ‘ yang kepercayaan kesehatannya berbeda dari faham perawat
. Guna memberikan pelayanan yang efektif dan cocok perawat harus
mengenal pentingnya pengaruh budaya dan lain - lain kultural .
Secara sosial seseorang yang
memasuki usia lanjut juga akan mengalami perubahan- perubahan.
Perubahan ini akan lebih terasa bagi seseorang yang menduduki jabatan
atau pekerjaan formal. la akan merasa kehilangan semua perlakuan yang
selama ini didapatkannya seperti dihormati, diperhatikan dan
diperlukan. Bagi orang-orang yang tidak mempunyai waktu atau tidak
merasa perlu untuk bergaul diluar lingkungan pekerjaannya, perasaan
kehilangan ini akan berdampak pada semangatnya, suasana hatinya dan
kesehatannya. Di dalam keluarga, peranannya-pun mulai bergeser.
Anak-anak sudah "jadi orang", mungkin sudah punya rumah
sendiri, tempat tinggalnya mungkin jauh. Rumah jadi sepi, orangtua
seperti tidak punya peran apa-apa lagi.
2.11
Asuhan Keperawatan Gangguan Sosialcultural pada Lansia
2.11.1 Definisi
Proses asuhan keperawatan pada usia
lanjut adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk memberikan bantuan,
bimbingan, pengawasan, perlindungan dan pertolongan kepada lanjut
usia secara individu, seperti di rumah/lingkungan keluarga, panti
werda maupun puskesmas, yang diberikan oleh perawat untuk asuhan
keperawatan yang masih dapat dilakukan oleh anggota keluarga atau
petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan
sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan
melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti (Depkes, 1993 1b).
2.11.2 Klasifikasi
Adapun asuhan keperawatan dasar
yang diberikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut
usia aktif atau pasif, antara lain;
- Lanjut usia aktif, asuhan keperawatan dapat berupa dukungan tentang personal hygiene, kebersihan gigi dan mulut atau pembersihan gigi palsu, kebersihan diri termasuk kepala, rambut, badan, kuku, mata, serta telinga; kebersihan lingkungan seperti tempat tidur dan ruangan; makanan sesuai, misalnya porsi kecil bergizi, bervariasi dan mudah dicerna, dan kesegaran jasmani.
- Lanjut usia pasif, yang tergantung pada orang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama seperti pada lanjut usia aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas.
2.11.3 Pendekatan Perawatan
Lansia
- Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan
obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang dialami klien lanjut
semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan
yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat
dicegah atau ditekan progrevitasnya.
Perawatan fisik secara umum bagi
klien lanjut usia dapat dibagi atas dua bagian, yakni:
- Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan sendiri.
- Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat harus mengetahui dasar perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk memepertahankan kesehatannya. Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha menceggah timbulnya peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian.
Di samping itu, kemunduran kondisi
fisik akibat proses ketuaan, dapat mempengaruhi ketahanan tubuh
terhadap gangguan atau serangan infeksi dari luar.
Untuk klien lanjut usia yang masih
aktif dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi,
kebersihan kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan
tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara memakan obat,
dan cara pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini
penting karena meskipun tidak selalu, keluhan-keluhan yang
dikemukakan atau gejala-gejala yang ditemukan memerlukan perawatan,
tidak jarang para klien lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam
keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif.
Adapun komponen pendekatan fisik
yang lebih mendasar adalah memperhatikan dan membantu para klien
lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan termasuk memilih dan
menentukan makanan, minum, melakuan eliminasi, tidur, menjaga sikap
tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat,
kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian, mempertahankan suhu
badan, melindungi kulit dan kecelakaan.
Toleransi terhadap kekurangan O2
sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2 yang
mendadak harus dicegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal,
jangan makan terlalu banyak dan jangan melakukan gerak badan yang
berlebihan.
- Pendekatan psikis
Di sini perawat mempunyai peranan
penting mengadakan pendekatan edukatif pada klien lanjut usia,
perawat dapat berperan sebagai supporter, interpreter terhadap segala
sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan
sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan
waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar
para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip
“Tripple S”, yaitu Sabar, Simpatik, dan Service.
Pada dasarnya klien lanjut usia
membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari lingkungan, termasuk
perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat harus selalu
menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan
kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus dapat membangkitkan
semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam memecahkan dan mengurangi
rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat
dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya.
Hal ini perlu dilakukan karena
perubahan psikologi terjadi bersama dengan berlanjutnya usia.
Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya
daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi , berkurangnya
kegairahan keinginan , peningkatan kewaspadaan, perubahan pola tidur
dengan suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan
pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan
cerita-cerita dari masa lampau yang membosankan, jangan mentertawakan
atau memarahi klien lanjut usia bila lupa atau kesalahan. Harus
diingat, kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan
tertentu.
Bila perawat ingin mengubah
tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan, perawat bisa
melakukannya secara perlahan-lahan dan bertahap, perawat harus dapat
mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehingga seluruh
pengalaman yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu
diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas
dan bahagia.
- Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran,
dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat dalam pendekatan
sosial. Memberikan kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama
klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi,
pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa
orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang
lain. Dalam pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social
antara lanjut usia dan lanjut usia dan perawat sendiri.
Perawat memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk mengadakan komunikasi
dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, menonton film, atau
hiburan-hiburan lain.
Para lanjut usia perlu dirangsang
untuk mengetahui dunia luar, seperti menonton televisi, mendengarkan
radio, atau membaca surat kabar dan majalah. Dapat disadari bahwa
pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah pentingnya dengan
upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau ketenangan para
klien lanjut usia.
Tidak sedikit klien tidak dapat
tidur karena stress, stress memikirkan penyakit, biaya hidup,
keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan
atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk menghilangkan rasa jemu
dan menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya perlu diberi
kesempatan kepada lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar
merasa masih ada hubungan dengan dunia luar.
Tidak jarang terjadi pertengkaran
dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama yang tinggal dipanti
werda), hal ini dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain
selalu mengadakan kontak dengan mereka, senasib dan sepenanggungan,
dan punya hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian perawat tetap
mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun
terhadap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun
terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda.
- Pendekatan spiritual
Perawat harus bias memberikan
ketentuan dan kepuasan batin dalam hubungannya dengan tujuan atau
agama yang dianutnya, terutama bila klien lanjut usia dalam keadaan
sakit atau mendekati kematian.sehubungan dengan pendekatan spiritual
bagi klien lanjut usia yang menekati kematian, DR Toni Setyobudhi
mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa takut
semacam ini di dasari oleh berbagai macam faktor seperti,
ketidakpastian pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan
yang sering menyertainya, dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi
dengan keluarga/lingkungan sekitarnya.
Dalam menghadapi kematian, setiap
klien lanjut usia akan memberikan reaksi-reaksi yang berbeda,
tergantung dari kepribadian dan cara mereka menghadapi hidup ini.
Sebab itu, perawat harus meneliti dengan cermat di manakah letak
kelemahan dan di mana letak kekuatan klien, agar perawat selanjutnya
akan lebih terarah lagi. Bila kelemahan terletak pada segi spiritual,
sudah seelayaknya perawat dan tim berkewajiban mencari upaya agar
klien lanjut usia ini dapat diringankan penderitaannya. Perawat bisa
memberikan kesempatan pada klien lanjut usia untuk melaksanakan
ibadahnya, atau secara langsung memberikan bimbingan rohani dengan
menganjurkan melaksanakan ibadahnya seperti membaca kitab atau
membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban terhadap agama yang
dianutnya.
Apabila kegelisahan yang timbul
disebabkan oleh persoalan keluarga, maka perawat harus dapat
meyakinkan lanjut usia bahwa keluarga tadi ditinggalkan, masih ada
orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan bila ada rasa bersalah
yang menghantui pikiran lanjut usia, segera perawat segera
menghubungi seorang rohaniawan untuk dapat mendampingi lanjut usia
dan mendengarkan keluhan-keluhannya maupun pengakuan-pengakuannya.
Umumnya pada waktu kematian akan
datang, agama atau kepercayaan seseorang merupakan faktor yang
penting sekali. Pada waktu inilah kehadiran seorang imam sangat perlu
untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat
lanjut usia bukan hanya terhadap fisik, yakni membantu mereka dalam
keterbatasan fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan
pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.
2.11.4 Tujuan Asuhan
Keperawatan Lansia
- Agar lanjut usia dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
- Mempertahankan kesehatan dan kemampuan dari mereka yang usianya telah lanjut usia dan jalan perawatan dan pencegahan.
- Membantu mempertahankan serta membesarkan semangat hidup klien lanjut usia.
- Merawat dan menolong klien lanjut usia yang menderita penyakit atau mengalami gangguan tertentu (kronis maupun akut).
- Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan diagnosa yang tepat dan dini, bila mereka menjumpai suatu kelainan tertentu.
- Mencari upaya semaksimal mungkin, agar para klien lanjut usia yang menderita suatu penyakit atau gangguan , masih dapat mempertahankan kebebasan yang maksimal tanpa perlu suatu pertolongan
2.11.5 Fokus Keperawatan Lansia
- Peningkatan kesehatan (health promotion).
- Pencegahan penyakit (preventif).
- Mengoptimalkan fungsi mental.
- Mengatasi gangguan kesehatan yang umum.
2.12 APLIKASI
TEORI MADELEINE LEININGER
2.12.1 Konsep Awal
Leininger (1978) mendefinisikan
transkultural di keperawatan sebagai: “ bidang kemanusiaan dan
pengetahuan pada studi formal dan praktik dalam keperawatan yang
difokuskan pada perbedaan studi budaya yang melihat adanya perbedaan
dan kesamaan dalam perawatan, kesehatan, dan pola penyakit didasari
atas nilai-nilai budaya, kepercayaan dan praktik budaya yang berbeda
di dunia, dan menggunakan pengetahuan untuk memberikan pengaruh
budaya yang spesifik pada masyarakat.”
Tiga tipe budaya yang berhubungan
dengan keputusan dan tindakan dipakai untuk menyakinkan bahwa
pelayanan keperawatan memberikan penyesuian tentang nilai dan norma.
Hal tersebut adalah :
- Budaya asuhan kultural
- Keputusan dan tindakan dirancang untuk membantu mendukung, atau meningkatkan kemampuan pasien untuk memelihara atau mempertahankan kesehatan, menyembuhkan sakit dan kematian.
- Akomodasi asuhan kultural
- Keputusan dan tindakan dirancang untuk membantu, mendukung atau meningkatkan kemampuan pasien untuk mengadaptasi atau merundingkan kemampuan atau kepuasan status kesehatan atau kematian.
- Pengolahan ulang asuhan kultural
- Keputusan dan tindakan dirancang untuk membantu, menyongkong atau menampukan pasien untuk merubah cara hidup ke pola yang baru atau berbeda yang secara budaya berarti dan memuaskan atau mendukung pemanfaatan dan pola hidup sehat.
2.12.2 Paradigma Keperawatan
Teori Keperawatan Leininger
a.
Manusia / pasien
Manusia adalah individu
atau kelompok yang memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang diyakini
yang berguna untuk menetapkan pilihan dan melakukan tindakan.
Manusia memiliki kecenderungan untuk mempertahankan budayanya pada
setiap saat dimanapun dia berada.
b.
Kesehatan
Kesehatan adalah keseluruhan
aktifitas yang dimiliki pasien dalam mengisi
kehidupannnya
c.
Lingkungan
Lingkungan dipandang sebagai suatu
totalitas kehidupan dimana pasien dengan budayanya saling
berinteraksi, baik lingkungan fisik, sosial dan simbolik.
d.
Keperawatan
Keperawatan dipandang sebagai
suatu ilmu dan kiat yang diberikan kepada pasien dengan berfokus pada
prilaku, fungsi dan proses untuk meningkatkan dan mempertahankan
kesehatan atau pemulihan dari sakit.
2.12.3 Konsep Utama Teori
Transkultural
1. Culture Care
Nilai-nilai, keyakinan, norma,
pandangan hidup yang dipelajari dan diturunkan serta diasumsikan yang
dapat membantu mempertahankan kesejahteraan dan kesehatan serta
meningkatkan kondisi dan cara hidupnya.
- World View
Cara pandang individu atau
kelompok dalam memandang kehidupannya sehingga menimbulkan keyakinan
dan nilai.
- Culture and Social Structure Dimention
Pengaruh dari factor-faktor budaya
tertentu (sub budaya) yang mencakup religius, kekeluargaan, politik
dan legal, ekonomi, pendidikan, teknologi dan nilai budaya yang
saling berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku dalam
konteks lingkungan yang berbeda
- Generic Care System
Budaya tradisional yang diwariskan
untuk membantu, mendukung, memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki
atau meningkatkan kualitas hidup untuk menghadapi kecacatan dan
kematiannya.
- Profesional system
Pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh pemberi pelayanan kesehatan yang memiliki pengetahuan dari
proses pembelajaran di institusi pendidikan formal serta melakukan
pelayanan kesehatan secara professional.
- Culture Care Preservation
Upaya untuk mempertahankan dan
memfasilitasi tindakan professional untuk mengambil keputusan dalam
memelihara dan menjaga nilai-nilai pada individu atau kelompok
sehingga dapat mempertahankan kesejahteraan.
- Culture Care Acomodation
Teknik negosiasi dalam
memfasilitasi kelompok orang dengan budaya tertentu untuk
beradaptasi/berunding terhadap tindakan dan pengambilan kesehatan.
- Cultural Care Repattering.
Menyusun kembali dalam
memfasilitasi tindakan dan pengambilan keputusan professional yang
dapat membawa perubahan cara hidup seseorang.
- Culture Congruent / Nursing Care
Suatu kesadaran untuk menyesuaikan
nilai-nilai budaya / keyakinan dan cara hidup individu/ golongan atau
institusi dalam upaya memberikan asukan keperawatan yang bermanfaat.
2.12.4 Transkultural Care
Dengan Proses Keperawatan
Model konseptual asuhan
keperawatan transkultural dapat dilihat pada gambar berikut :
Penerapan teori Leineger (Sunrise
Model) pada proses keperawatan dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Proses
Keperawatan
|
Sunrise
Model
|
Pengkajian
dan Diagnosis
|
Pengkajian
terhadap Level satu, dua dan tiga yang meliputi :
Level
satu : World view and Social system level
Level
dua : Individual, Families, Groups communities
and
Institution in diverse health system
Level tiga :
Folk system, professional system and nursing
|
Perencanaan
dan Implementasi
|
Level
empat : Nursing care Decition and Action
Culture
Care Preservation/maintanance
Culture
Care Accomodation/negotiations
Culture
Care Repatterning/restructuring
|
Evaluasi
|
2.12.5
Analisis Teori
Transcultural Nursing
1.
Kemampuan
teori menghubungkan konsep dalam melihat penomena
Teori Transcultural Nursing yang
digambarkan dalam Sunrise Model menunjukan bahwa level satu dan dua
dari teori memilki banyak kesamaan dengan beberapa teori keperawatan
lainnya sedangkan pada level ketiga dan keempat memiliki perbedaan
spesifik dan bersifat unik jika dibandingkan dengan teori lainnya.
2.
Tingkat Generalisasi Teori
Teori dan model yang dikemukan
oleh Leininger relatif tidak sederhana, namun demikian teori ini
dapat didemontrasikan dan diaplikasikan sehingga dapat
diberikan justifikasi dan pembenaran bagaimana konsep-konsep yang
dikemukakan saling berhubungan.
3.
Tingkat Kelogisan Teori
Kelogisan teori Leininger
adalah pada fokus dari pandangganya dengan melihat bahwa latar
belakang budaya pasien (individu, keluarga, kelompok, masyarakat)
yang berbeda sebagai bagian penting dalam rangka pemberian asuhan
keperawatan.
4.
Testabilitas teori
Teori Cultural
care diversity and Universality
dikembangkan berdasarkan atas riset kualitatif dan kuantitatif.
5.
Kemanfaatan Teori bagi Peningkatan Body Of Knowledge
Beberapa penelitian tentang konsep
perawatan dengan memperhatikan budaya telah memberikan arti akan
pentingnya pengetahuan dan pemahaman tentang perbedaan dan persamaan
budaya dalam praktek keperawatan.
6.
Kemanfaatan Teori pada Pengembangan Praktek Keperawatan
Teori ini sangat relevan dan dapat
diterapkan secara nyata dalam praktek keperawatan, karena teori ini
mengemukakan adanya pengaruh perbedaan budaya terhadap perilaku
hidup sehat. Dan dalam aplikasinya teori ini sangat relevan
dengan penerapan praktek keperawatan komunitas.
7.
Konsistensi Teori
Leininger menyampaikan pentingnya
pemahaman budaya dalam rangka hubungan perawat pasien yang juga
sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Imoge King yang
menekankan pentingnya persamaan persepsi perawat pasien untuk
pencapaian tujuan.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Analisis Fenomena Keperawatan
Kasus:
Ny.A (65 tahun) tinggal di rumah sederhana di sebuah desa dengan
penduduk lumayan padat. Sejak 5 tahun yang lalu, kedua anaknya
meningglakan Ny. A sendiri di rumah, karena harus pergi merantau
mencari pekerjaan. Ny.A banyak menghabiskan waktunya di rumah. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, Ny.A dibantu oleh tetangganya, karena
merasa kasihan terhadap Ny.A. Ny.A sering mengeluhkan nyeri dibagian
sendi tangan dan kakinya sejak 10tahun yang lalu.
Tetangga Ny.A menawarkan bantuan pada Ny.A untuk mengantarkan dia
pergi berobat ke dokter untuk memeriksakan penyakitnya. Namun Ny.A
lebih senang memijatkan tangan dan kakinya ke tukang pijat yang ada
di daerahnya. Ny.A lebih percaya pada tukang pijat yang menjadi
langganannya sejak dulu. Petugas pelayanan kesehatan juga beberapa
kali mendatangi Ny.A, untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis.
Namun Ny.A, menolak dan menyuruh petugas itu pergi.
Hubungan Ny. A, juga tidak terlalu baik dengan tetangganya . Ny.A
hanya mau menerima bantuan, namun enggan untuk berinteraksi terlalu
lama dengan tetangganya. Ny.A hanya mau menjawab pertanyaan dan
berbicara seperlunya saja. Ny.A tampak menarik diri dari lingkungan
sekitarnya. Ny.A hanya mau banyak bercerita pada tetangga yang
memiliki hubungan paling dekat dengannya. Ny.A mengaaku lebih nyaman
berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Di dalam rumah Ny. A terdapat sebuah TV, Namun TV tersebut tidak
pernah difungsikan. Tidak ada fasilitas telepon di rumah Ny.A, Ny.A
biasanya mendapat kabar tentang anaknya dari tetangga yang juga
merantau dan sedang pulang kampung. Ny.A biasanya menggunakan jasa
tukang becak untuk berpergian sekedar membeli kebutuhan sehari-hari
setiap satu minggu sekali. Ny.A mengaku tidak terbiasaa menggunakan
jasa kendaraan bermotor paada saat bepergian, karena takut jatuh.
1). Faktor
teknologi (tecnological factors)
Teknologi kesehatan memungkinkan individu untuk memilih atau mendapat
penawaran menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan. Perawat
perlu mengkaji: persepsi sehat sakit, kebiasaan berobat atau
mengatasi masalah kesehatan, alasan mencari bantuan kesehatan, alasan
klien memilih pengobatan alternatif dan persepsi klien tentang
penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk mengatasi permasalahan
kesehatan saat ini.
Dalam kasus ini diungkapakan bahwa, klien seseorang yang meyakini
bahwa sakit yang dideritanya itu bisa disembuhkan ke dukun pijat
tanpa harus pergi ke petugas kesehatan. Dengan berbagai alasan,
dikarenakan lokasi yang kurang terjangkau dan juga faktor dari dalam
diri klien sendiri yang menganggap bahwa dukun pijat lebih mampu
mengatasi penyakit klien.
2). Faktor
agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat
kuat untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas
kehidupannya sendiri. Faktor agama yang harus dikaji oleh perawat
adalah: agama yang dianut, status pernikahan, cara pandang klien
terhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan agama yang
berdampak positif terhadap kesehatan.
Dalam kasus tidak diungkapakan secara langsung agama apa yang dianut
oleh klien. Namun pada kondisis sakit seperti itu, klien tertutup
dengan masalah kesehatannya. Kllien sudah dinasehati oleh tetangganya
untuk pergi ke dokter, namun ia beranggapan dukun pijat lebih bisa
diandalkan.
3). Faktor
sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Perawat pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor: nama lengkap,
nama panggilan, umur dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status,
tipe keluarga, pengambilan keputusan dalam keluarga, dan hubungan
klien dengan kepala keluarga.
Tipe keluarga yang ada pada kasus ini, adalah keluarga dengan lansia
didalamnya. Dimana lansia tersebut memiliki 2 orang anak yang
merantau sejak lioma tahun yang lalu.
4). Nilai-nilai
budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkan oleh
penganut budaya yang dianggap baik atau buruk. Norma-norma budaya
adalah suatu kaidah yang mempunyai sifat penerapan terbatas pada
penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada faktor ini adalah:
posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga, bahasa yang
digunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisi
sakit, persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan
kebiasaan membersihkan diri.
Ny. A adalah seorang ibu rumah tangga namun, sejak 10 tahun yang lalu
ia sudah terjangkit artritis. Dia memiliki 2 orang anak namun sudah
merantau keduanya dan tidak tinggal dalam satu rumah lagi. Demi
memenuhi kehidupan sehari-hari Ny. A hanya menerima bantuan dari
tetangganya. Sesekali (1 minggu sekali) ny. A pergi berbelanja.
5). Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segala
sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan
lintas budaya (Andrew and Boyle, 1995). Yang perlu dikaji pada tahap
ini adalah: peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan jam
berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu, cara
pembayaran untuk klien yang dirawat.
Petugas kesehatan sekitar sudah mencoba berkunjung ke rumah Ny. A
namun, selalu tidak ada respon yang baik dari klien.
6).
Faktor ekonomi (economical factors)
Klien yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumber material
yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. Faktor
ekonomi yang harus dikaji oleh perawat diantaranya: pekerjaan klien,
sumber biaya pengobatan, tabungan yang dimiliki oleh keluarga, biaya
dari sumber lain misalnya asuransi, penggantian biaya dari kantor
atau patungan antar anggota keluarga.
Dalam memenuhi kehidupan sehari-hari klien lebih suka menerima
bantuan dari orang lain. Klien mengira bahwa biaya ke rumah sakit
atau berobat ke dokter terlalu mahal jika dibandingkan dengan pergi
berobat ke dukun pijat.
7). Faktor pendidikan (educational factors)
Latar belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalam
menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi
pendidikan klien maka keyakinan klien biasanya di dukung oleh bukti
bukti ilmiah yang rasional dan individu tersebut dapat belajar
beradaptasi terhadap budaya yang sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah: tingkat pendidikan
klien, jenis pendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif
mandiri tentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
Klien menderita atritis selama 10 tahun terakhir, namun tidak ada
upaya untuk pergi berobat ke fasilitas kesehatan. Klien kurang bisa
belajar secara aktif dan mandiri terhadap penyakitnya.
3.1.1
Perencanaan dan Implementasi
Perencanaan dan implementasi keperawatan transkultural menawarkan
tiga strategi sebagai pedoman Leininger (1984) ; Andrew & Boyle,
1995 yaitu :
- Perlindungan/mempertahankan budaya (Cultural carepreservation/maintenance) bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan,
- Mengakomodasi/menegosiasi budaya (Cultural careaccommodatio atau negotiations) apabila budaya pasien kurang mendukung kesehatan.
- Mengubah dan mengganti budaya pasien dan keluarganya (Cultural care repartening / recontruction).
Pada
kasus diatas, maka kami memberikan implementasi berupa:
Diagnosa
:
- Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan ketiadaan orang terdekat, ketidakselarasan sosial kultural, defisit pengetahuan atau keterampilan tentang cara meningkatakan kebersamaan.
- Isolasi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk terikat dalam hubungan pribadi yang memuaskan, perilaku atau nilai sosial yang tidak berterima
- Intervensi
Diagnosa
1
Tujuan
atau Kriteria Hasil (NOC):
- Pasien menunjukkan keterampilan interaksi sosial
- Pasien menunjukkan keterlibatan sosial
- Pasien memahami dampak perilaku diri pada interaksi sosial
- Pasie menunjukkan perilaku yang dapat meningkatkan atau memperbaiki interaksi sosial
- Pasien mendapatakan / meningkatkan keterampilan interaksi sosial (mis; kedekatan dan kerja sama).
- Pasien mengungkapakan keinginan untuk berhubungan dengan orang lain
Intervensi
(NIC) :
- Modifikasi perilaku keterampilan sosial : Membantu pasien mengembangkan atau meningkatakan keterampilan sosial interpersonal.
- Pembinaan hubungan kompleks : Membina hubungan yang terapeutik dengan pasien yang kesulitan berinteraksi dengan orang lain.
- Promosi integritas keluarga : Meningkatkan persatuan dan kesatuan keluarga.
- Promosi keterlibatan keluarga : Memfasilitasi perawatan keluarga dalam perawatan emosi dan kondisi fisik pasien.
- Peningkatan Harga Diri :Membantu pasien meningkatkan penilaian pribadi tentang harga diri.
- Peningkatan sosialisi : Memfasilitasi kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan orang lain.
Aktivitas
lain :
- Buat interaksi terjadwal
- Identifikasi perubahan perilaku tertentu
- Identifikasi tugas-tugas yang dapat meningkatakan atau memperbaiki interaksi sosial
- Libatkan pendukung sebaya dalam memberkan umpan balik kepada pasien dalam interksi sosial
- Peningkatan sosialisa ( NIC) :
- Anjurkan bersikap jujur dan apa adanya dalam berinteraksi dengan oran lain
- Anjurkan menghargai hak orang lain
- Anjurkan sabar dalam membina hubungan
- Bantu pasien meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan keterbatasan dala berkomunikasi dengan orang lain
- Beri umpan balik positif jika pasien dapat berinterksi dengan orang lain
- Fasilitasi pasien dalam memberi masukan dan membuat perencanaan aktivitas mendatang
- Intervensi
Diagnosa
2
Tujuan/
Kriteria Evaluasi (NOC):
- Pasien menunjukkan keterlibatan sosial ( interaksi dengan teman dekat, tetangga, anggota keluarga,berpartisipasi sebagai sukarelawan pada aktivitas atau organisasi,dan sebagainya)
- Mulai membina hubungan dengan orang lain
- Mengembangkan hubungan satu sama lain
- Mengembangkan keterampilan sosial yang dapat mengurangi isolasi (mis, bekerja sama)
- Melaporkan adanya dukungan sosial (mis, bantuan dalam bentuk dari orang lain dalam bentuk bantuan emosi, waktu, keuangan, tenaga, atau informasi )
Intervensi
(NIC) :
- Modifikasi perilaku keterampilan sosial : Membantu pasien mengembangkan atau meningkatakan keterampilan sosial interpersonal.
- Pembinaan hubungan kompleks : Membina hubungan yang terapeutik dengan pasien yang kesulitan berinteraksi dengan orang lain.
- Peningkatan koping : Membantu pasien beradaptasi dengan persepsi stresor, perubahan, atau ancaman yang menghambat pemenuhan kenutuhan hidup dan peran.
- Promosi integritas keluarga : Meningkatkan persatuan dan kesatuan keluarga.
- Promosi keterlibatan keluarga : Memfasilitasi perawatan keluarga dalam perawatan emosi dan kondisi fisik pasien.
- Peningkatan kesadaran diri : Membantu pasien menggali dan memahami gagasan, perasaan, motivasi, dan perilaku pasien.
- Peningkatan sosialisi : Memfasilitasi kemampuan pasien untuk berinteraksi dengan orang lain.
- Peningkatan sistem dukungan : Memfasilitasi dukungan kepada pasien oleh keluarga, teman, dan komunitas.
Aktivitas
lain :
- Bantu pasien membedakan persepsi dan kenyataan
- Identifikasi bersama pasien faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan isolasi sosial
- Beri penguatan terhadap usaha-usaha yang dilakukan pasien, keluarga, dan teman-teman untuk berinterksi
- Peningkatan sosialisasi ( NIC) :
- Dukung hubungan dengan orang lain yang mempunyai minat dan tujuan yang sama
- Berikan umpan balik tentang peningkatan dalam aktivitas
- Dukung pasien untuk mengubah lingkungan seperti jalan-jalan
- Intervensi keperawatan berdasarakan 3 aspek menurut Leininger
Modifikasi
:
Memberikan
penyuluhan dan informasi, agar pasien mampu :
- Memodifikasi pola pikir klien, bahwa setiap penyakit harus diperiksakan di petugas medis, tidak harus selalu pergi ke tukang pijat.
- Menerima kritik dan saran dari orang lain.
- Bersikap terbuka dan belajar berinteraksi sosial dengan orang lain.
- Belajar membina hubungan baik dengan tetangga.
- Mampu menerima perubahan yang tejadi dengan lingkungannya (menyangkut penggunaan teknologi dan transportasi).
BAB
4
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Pengaruh sosial budaya dalam
masyarakat memberikan peranan penting dalam mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan sosial budaya dalam
masyarakat merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah
tersebut telah mengalami suatu perubahan dalam proses berfikir.
Perubahan sosial dan budaya bisa memberikan dampak positif maupun
negatif.
Hubungan antara kebudayaan dan
kesehatan pasien lansia biasanya dipelajari pada masyarakat yang
terisolasi dimana cara - cara hidup mereka tidak berubah selama
beberapa generasi, walaupun mereka merupakan sumber data-data
bilogis yang penting dan model antropologi yang berguna , lebih
penting lagi untuk memikirkan bagaimana mengubah kebudayaan mereka
itu.
Perawat harus selalu menjaga
hubungan yang efektif dengan masyarakat ‘pasien’dengan selalu
mengadakan komunikasi efektif demi meningkatkan status kesehatan
lansia dan mendukung keberhasilan pemerintah dalam bidang kesehatan
berbasis publik .
4.2.
Saran
Makalah
dibuat berdasarkan kebutuhan seorang mahasiswa sebagai tanggung
jawabnya dalam menyelesaikan tugas sebuah mata kuliah. Diperlukan
bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing sehingga kiranya makalah
tersebut dapat menjadi sesuatu yang lebih berguna di masa yang akan
datang.
Penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan olehnya itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun sebagai bahan ajar untuk penyusunan berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
- Basford, Lynn & Oliver Slevin. 2006. Teori dan Praktik Keperawatan : Pendekatan Integral pada Asuhan Pasien. Jakarta : EGC
- Jhonson, Marion dkk. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc.
- Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts, Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies.
- McCloskey, Joanne C. 1996. Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louise, Missouri : Mosby, Inc.
- NANDA. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2005-2006. Philadelphia : NANDA International.
- Nugroho,Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik.Edisi2.Jakarta;EGC.
- Royal College of Nursing (2006), Transcultural Nursing Care of Adult ; Section One Understanding The Theoretical Basis of Transcultural Nursing Care Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006.
- Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. Jakarta; EGC.Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku : Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar