MAKALAH
KEPERAWATAN KOMUNITAS III
“ASUHAN
KEPERAWATAN PADA LANSIA DALAM
MENGHADAPI KEMATIAN“
Oleh:
Kelompok 10 ( S1-3A )
1. Cyintia putri S.IS (101.0017)
2. Ira kurniawati (101.0053)
3. Linda Primasari (101.0061)
4. Nia Aimmatul fauzia (101.0079)
PROGRAM
STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA
2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Seorang perawatan professional dalam merawat lanjut
usia yang tidak ada harapan mempunyai ketrampilan yang multi komplek. sesuai
dengan peran yang dimiliki, perawatan harus mampu memberikan pelayanan
keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien lanjut usia dan harus menyelami
perasaan-perasaan hidup dan mati.
Dalam
memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia yang sedang menghadapi sakarotul
maut tidaklah selamanya muda, klien lanjut usia akan memberikan reaksi-reaksi yang berbeda –beda, bergantung kepada
kepribadian dan cara klien lanjut usia menghadapi hidup. tetapi bagaimanapun
keadaan, situasi dan kondisinya perawat harus dapat menguasai keadaan terutama
terhadap keluarga klien lanjut usia. Biasanya, anggota keluarga dalam keadaan
krisis ini memerlukan perhatian perawatan karena kematian pada seseorang dapat
datang dengan berbagai cara, dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat pula
berlangsung berhari-hari. kadang –kadang sebelum ajal tiba klien lanjut usia ke
hilangan kesadarannya terlebih dahulu.
Pentingnya
bimbingan spiritual dalam kesehatan telah menjadi ketetapan WHO yang menyatakan
bahwa aspek agama (spiritual) merupakan salah satu unsur dari pengertian
kesehataan seutuhnya (WHO, 1984). Oleh karena itu dibutuhkan dokter dan
terutama perawat untuk memenuhi kebutuhan spritual pasien. Karena peran perawat
yang konfrehensif tersebut pasien senantiasa mendudukan perawat dalam tugas
mulia mengantarkan pasien diakhir hayatnya dan perawat juga dapat bertindak
sebagai fasilisator (memfasilitasi) agar pasien tetap melakukan yang terbaik
seoptimal mungkin sesuai dengan kondisinya. Namun peran spiritual ini sering
kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual ini sangat penting
terutama untuk pasien terminal yang didiagnose harapan sembuhnya sangat tipis
dan mendekati sakaratul maut.
Menurut
Dadang Hawari (1977,53) “orang yang mengalami penyakit terminal dan menjelang
sakaratul maut lebih banyak mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan
krisis kerohanian sehingga pembinaan kerohanian saat klien menjelang ajal perlu
mendapatkan perhatian khusus”.
1.2 Dari latar belakang diatas, perumusan
masalahnya adalah sebagai berikut :
1.2.1
Bagaimanakah
konsep dasar kematian?
1.2.2
Bagaimanakah
konsep asuhan keperawatan pasien terminal dan menjelang ajal?
1.2.3
Bagaimanakah
aplikasinya dalam kasus?
1.3 Tujuan
Penulisan
1.3.1 Tujuan
Umum
1. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas III
2. Agar mahasiswa mampu memahami dan membuat Asuhan Keperawatan Lansia
menjelang ajal atau kematian .
1.3.2 Tujuan
Khusus
1.
Mengenal kosep dasar kematian.
2.
Melakukan asuhan keperawatan lansia
menjelang ajal.
1.4 Manfaat
Manfaat
yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mahasiswa
dapat mengenal konsep dasar kematian
2. Mahasiswa
dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat terhadap lansia yang menghadapi
ajal atau kematian.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
lansia .
2.1.1 Definisi
Usia lanjut
dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi
Anna Keliat, 1999 dalam Buku Siti Maryam, dkk, 2008). Sedangkan menurut Pasal 1
ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia
lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. (R. Siti
Maryam, dkk, 2008: 32)
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap
individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan
kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari
proses penuaan normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan
di wajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan
tubuh, merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka
harus berhadapan dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial,
serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut
kemampuan beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak
(Soejono, 2000). Penuaan merupakan proses normal perubahan yang berhubungan
dengan waktu, sudah dimulai sejak lahir dan berlanjut sepanjang hidup. Usia tua
adalah fase akhir dari rentang kehidupan.
Pengertian lansia (Lanjut Usia) adalah fase menurunnya kemampuan akal dan
fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagai mana
di ketahui, ketika manusia mencapai usia dewasa, ia mempunyai kemampuan
reproduksi dan melahirkan anak. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan
kehilangan tugas dan fungsi ini, dan memasuki selanjutnya, yaitu usia lanjut,
kemudian mati. Bagi manusia yang normal, siapa orangnya, tentu telah siap
menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri
dengan kondisi lingkunganya (Darmojo, 2004).
Pengertian lansia (lanjut usia) menurut UU No. 4 Tahun 1965 adalah
seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri
untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain
(Wahyudi, 2000) sedangkan menurut UU No. 12 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun
(Depsos, 1999). Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu
kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses
penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek
ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998).
2.1.2
Penggolongan lansia
Sedangkan
menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pengertian lansia digolongkan menjadi
4, yaitu:
1.
Usia
pertengahan (middle age) 45 -59 tahun
2.
Lanjut usia
(elderly) 60 -74 tahun
3.
Lanjut usia
tua (old) 75 – 90 tahun
4.
Lansia
sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
2.1.3
Ciri-ciri Lansia.
Menurut
Hurlock (Hurlock, 1980: 380) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut
usia,yaitu:
a. Usia lanjut
merupakan periode kemunduran
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor
fisik dan faktor psikologis. Kemunduran dapat berdampak pada
psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran pada
lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi yang
rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan
lama terjadi.
b. Orang lanjut
usia memiliki status kelompok minoritas
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena
sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan terhadap orang lanjut
usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang jelek terhadap lansia.
Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih senang mempertahankan pendapatnya
dari pada mendengarkan pendapat orang lain.
c. Menua
membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai
mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan.
d. Penyesuaian
yang buruk pada lansia
Perlakuan yang buruk terhadap orang
lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk.
Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena perlakuan
yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
2.2 Konsep
kematian.
2.2.1 Pengertian
kematian .
Kematian adalah penghentian
permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari kehidupan manusia(Buku Ajar
Keperawatan Gerontik : 435).
Pengertian kematian / mati adalah
apabila seseorang tidak teraba lagi denyut nadinya tidak bernafas selama
beberapa menit dan tidak menunjukan segala refleks, serta tidak ada kegiatan
otak.(Nugroho: 153).
2.2.2 Penyebab
kematian
1. Penyakit.
a. Keganasan
(karsinoma hati, paru, mamae).
b. CVD
(cerebrovascular disaese).
c. CRF
(chronic renal failure (gagal ginjal) ).
d. Diabetes
melitus (gangguan endokrin).
e. MCI
(myocard infarct (gangguan kardiovaskuler) ).
f. COPD
(chronic obstruction pulmonary disaese)
2. Kecelakaan
(hematoma epidural).
2.2.3 Ciri
atau tanda klien lanjut usia menjelang kematian
1.
Gerakan dan pengindraan menghilang
secara berangsur – angsur. Biasanya dimulai pada anggota badan, khususnya kaki
dan ujung kaki
2.
Badan dingin dan lembab, terutama pada
kaki, tangan dan ujung hidungnya
3.
Kulit tampak pucat
4.
Denyut nadi mulai tak teratur
5.
Tekanan darah menurun
6.
Relaksasi otot muka sehingga dagu
menjadi turun.
7.
Pernafasan cepat dangkal dan tidak
teratur.
2.2.3 Tanda
–tanda meninggal secara klinis.
Secara
tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui
perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World
Medical Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu
:
1.
Tidak
ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2.
Tidak
adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3.
Tidak
ada reflek.
4.
Gambaran
mendatar pada EKG.
2.2.4 Tahap
Kematian
Tahap – tahap ini tidak selamanya
bruntutan secara tetapi dapat saling tindih. Kadang–kadang klien lanjut usia
melalui suatu tahap tertentu untuk kemudian kembali ketahap itu. Lama setiap
tahap dapt bervariasi, mulai dari beberapa jam sampai beberapa bulan. Apabila
tahap tertentu berlangsung sangat singkat, bisa timbul kesan seolah – olah
klien lanjut usia melompati satu tahap, kecuali jika perawat memperhatikan
seksama dan cermat.(Nugroho:2008)
1. Tahap
Pertama ( Penolakan )
Tahap ini adalah tahap kejutan dan
penolakan. Biasany, sikap itu ditandai dengan komentar “saya?tidak, itu tidak
mungkin”. Selama tahap ini klien lanjut usia sesungguhnya mengatakan bahwa maut
menimpa semua orang, kecuali dirinya. Klien lanjut usia biasanya terpengaruh
oleh sikap penolakannya sehingga ia tidak memerhatikan fakta yang mungkin
sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Ia bahkan menekan apa yg telah ia
dengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari berbagai macam sumber
profesional dan nonprofesional dalam upaya melarikan diri dari kenyataan bahwa
mau sudah diambang pintu.
2. Tahap
kedua (marah)
tahap ini ditandai oleh rasa marah
dan emosi tidak terkendali. Klien lanjut usia itu berkata “mengapa saya? ”
sering kali klien lanjut usia akan selalu mencela setiap orang dalam segala
hal. Ia mudah marah terhadap perawat dan petugas kesehatan lainya tentang apa
yang mereka lakukan. Pada tahap ini, klien lanjut usia lebih menganggap hal ini
merupakan hikmah, daripada kutukan. Kemarahan disini merupakan mekanisme
perthanan diri klien lanjut usia. Akan tetapi, kemarahan yang sesungguhnya
tertuju kepada kesehatan dankehidupan. Pada saat ini, perawat kesehatan harus
berhati – hati dalam memberi penilaian sebagai reaksi yang normal terhadap
kemtian yang perlu diungkapkan.
3. Tahap
ketiga (tawar – menawar )
Pada tahap ini biasanya klien
lanjut usia pada hakikatnya berkata , “ya, benar aku, tapi...” kemarahan
biasnya mereda dan klien lanjut usia biasanya dapat menimbulkan kesan sudah
dapat menerima apa yang sedang terjadi pada dirinya. Akan tetapi, pada tahap
tawar menawar ini banyak orang cenderung untuk menyelesaikan urusan rumah
tangga mereka sebelum mau tiba, dan akan menyiapkan beberpa hal, misalnya klien
lanjut usia mempunyai permintaan terkhir untuk melihat pertandingan olahraga,
mengunjungi kerabat, melihat cucu terkecil, atau makan direstoran. Perawat
dianjurkan memenuhi permohonan itu karena membantu klien lanjut usia memasuki
tahap berikutnya.
4. Tahap
keempat (sedih/ depresi )
Pada tahap ini biasanya klien
lanjut usia pada hakikatnya berkata “ya, benar aku” hal ini biasanya merupakan
saat yang menyedihkan karena lanjut usia sedang dalam suaana berkabung. Di masa
lampau, ia sudah kehilangan orang yang dicintainya dan sekarang ia akan
kehilangan nyawanya sendiri. Bersamaan dengan itu, dia harus meninggalkan semua
hal menyenangkan yang telah dinikmatinya. Selam tahap ini, klien lanjut usia
cenderung tidak banyak bicara dan sering menangis. Saatnya perawat duduk dengan
tenang disamping klien lanjut usia yang melalui masa sedihnya sebelum meninggal
5. Tahap
kelima (menerima/ asertif)
Tahap ini ditandai oleh sikap
menerima kematian.menjelang saat ini, klien lanjut usia telah membereskan segala
urusan ysng belum selesesai dan mungkin tidak ingin berbicara lagi karena sudah
menyatakan segala sesuatunya. Tawar menawar sudah lewat dan tibalah saat
kedamaian dan ketenangan. Seseorang mungkin saja lama ada dalam tahap menerima,
tetapi bukan tahap pasrah yang berarti kekalahan . Dengan kata lain pasrah
terhadap maut tidak berarti menerima maut.
2.2.5 Pengaruh
Kematian
1.
Pengaruh kematian terhadap keluarga
klien lanjut usia :
a.
Bersikap kritis terhadap cara perawatan.
b.
Keluarga dapat menerima kondisinya.
c.
Terputusnya komunikasi dengan orang yang
menjelang maut.
d.
Penyesalan keluarga dapat mengakibatkan
orang yang bersangkutan tidak dapat mengatasi rasa sedih.
e.
Pengalihan tanggung jawab dan beban
ekonomi.
f.
Keluarga menolak diagnosis. Penolakan
tersebut dapat memperbesar beban emosi keluarga.
g.
Mempersoalkan kemampuan tim kesehatan.
2.
Pengaruh kematian terhadap tetangga /
teman :
a.
Simpati dan dukungan moril.
b.
Meremehkan / mencela kemampuan tim
kesehatan
2.2.6 Pemenuhan
kebutuhan klien menjelang kematian :
a. Kebutuhan
jasmaniah.
Kemampuan toleransi terhadap rasa
sakit berbeda pada setiap orang. Tindakan yang memungkinkan rasa nyaman bagi
klien lanjut usia ( mis., sering mengubah posisi tidur, perawatan fisik, dan
sebagainya ).
b. Kebutuhan
fisisologis.
a) Kebersihan Diri
Kebersihan
dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas kemampuannya dalam
hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan dan sebagainya.
b) Mengontrol Rasa Sakit
Beberapa
obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada klien dengan sakit terminal,
seperti morphin, heroin, dsbg. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan
tingkat toleransi nyeri yang dirasakan klien. Obat-obatan lebih baik diberikan
Intra Vena dibandingkan melalui Intra Muskular atau Subcutan, karena kondisi
system sirkulasi sudah menurun.
c) Membebaskan Jalan Nafas
Untuk
klien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran
sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi
klien yang tida sadar, posisi yang baik adalah posisi sim dengan dipasang
drainase dari mulut dan pemberian oksigen.
d) Bergerak
Apabila
kondisinya memungkinkan, klien dapat dibantu untuk bergerak, seperti: turun
dari tempat tidur, ganti posisi tidur untuk mencegah decubitus dan dilakukan
secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh
klien, karena tonus otot sudah menurun.
e) Nutrisi
Klien
seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat
diberikan annti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta
pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus
otot yang berkurang, terjadi dysphagia, perawat perlu menguji reflek menelan
klien sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra
Vena atau Invus.
f) Eliminasi
Karena
adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi,
inkontinen urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah
konstipasi. Klien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara
teratur atau dipasang duk yang diganjti setiap saat atau dilakukan
kateterisasi. Harus dijaga kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila
terjadi lecet, harus diberikan salep.
g) Perubahan Sensori
Klien
dengan dying, penglihatan menjadi kabur, klien biasanya menolak atau
menghadapkan kepala kearah lampu atau tempat terang. Klien masih dapat
mendengar, tetapi tidak dapat atau mampu merespon, perawat dan keluarga harus
bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
c. Kebutuhan
emosi.
Untuk menggambarkan ungkapan sikap
dan perasaan klien lanjut usiadalam menghadapi kematian.
a) Mungkin
klien lanjut usia mengalami ketakutan yang hebat ( ketakutan yang timbul akibat
menyadari bahwa dirinya tidak mampu mencegah kematian ).
b) Mengkaji
hal yang diinginkan penderita selama mendampinginya. Misalnya, lanjut usia
ingin memperbincangkan tentang kehidupan di masa lalu dan kemudian hari. Bila
pembicaraan tersebut berkenaan, luangkan waktu sejenak.
c) Mengkaji
pengaruh kebudayaan atau agama terhadap klien.
d. Kebutuhan
sosial
Klien dengan dying akan ditempatkan
diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat
melakukan:
a) Menanyakan siapa-siapa saja yang
ingin didatangkan untuk bertemu dengan klien dan didiskusikan dengan
keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota keluarga lain.
b) Menggali perasaan-perasaan klien
sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi.
c) Menjaga penampilan klien pada
saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-teman terdekatnya, yaitu dengan
memberikan klien untuk membersihkan diri dan merapikan diri.
d) Meminta saudara atau teman-temannya
untuk sering mengunjungi dan mengajak orang lain dan membawa buku-buku bacaan
bagi klien apabila klien mampu membacanya.
e. Kebutuhan
spiritual
a) Menanyakan kepada klien tentang
harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana klien selanjutnya menjelang
kematian.
b) Menanyakan kepada klien untuk
mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual.
c) Membantu dan mendorong klien untuk
melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya.
2.2.7 Pertimbangan
khusus dalam perawatan :
a. Tahap
I ( penolakan dan rasa kesendirian ), mengenal atau mengetahui bahwa proses ini
umumnya terjadi karena menyadari akan datangnya kematian atau ancaman maut.
a) Beri
kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mempergunakan caranya sendiri dalam
menghadapi kematian sejauh tidak merusak.
b) Memfasilitasi
klien lanjut usia dalam menghadapi kematian. Luangkan waktu 10 menit sehari,
baik dengan bercakap – cakap maupun sekedar bersamanya.
b. Tahap
II ( marah ), mengenal atau memahami tingkah laku serta tanda – tandanya.
a) Beri
kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mengungkapkan kemarahannya dengan
kata – kata.
b) Ingat,
bahwa dalam benaknya bergejolak pertanyaan, “ Mengapa hal ini terjadi pada
diriku ? “.
c) Sering
kali perasaan ini dialihkan kepada orang lain atau anda sebagai cara klien
lanjut usia bertingkah laku.
c. Tahap
III ( tawar – menawar ), menggambarkan proses seseorang yang berusaha menawar
waktu.
a) Klien
lanjut usia akan mempergunakan ungkapan, seperti seandainya “ Saya...“
b) Beri
kesempatan kepada klien lanjut usia untuk menghadapi kematian dengan tawar –
menawar.
c) Tanyakan
kepentingan yang masih ia inginkan. Cara demikian dapat menunjukan kemampuan
perawat untuk mendengarkan ungkapan perasaanya.
d. Tahap
IV ( depresi ), lanjut usia memahami bahwa tidak mungkin menolak lagi kematian
yang tidak dapat dihindarkan itu, dan kini kesedihan akan kematian itu sudah
membayanginya.
a) Jangan
mencoba menyenangkan klien lanjut usia. Ingat bahwa tindakan ini sebenarnya
hanya memenuhi kebutuhan petugas. Jangan takut menyaksikan klien lanjut usia
atau keluarga menangis. Hal ini merupakan ungkapan pengekspresian kesedihanya.
Anda boleh saja ikut berduka cita.
b) “
Apakah saya akan mati ? “ Sebab sebetulnya pertanyaan klien lanjut usia
tersebut hanya sekadar mengisi dan menghabiskan waktu untuk memperbincangkan
perasaanya, bukannya mencari jawaban. Biasanya klien lanjut usia menanyakan
sesuatu, ia sebenarnya sudah tahu jawabanya. Apakah anda merasa akan meninggal
dunia.
e. Tahap
V, membedakan antara sikap menerima kematian dan penyerahan terhadap kematian
yang akan terjadi. Sikap menerima : klien lanjut usia telah menerima, dapat
mengatakan bahwa kematian akan tiba dan ia tak boleh menolak. Sikap menyerah :
sebenarnya klien lanjut usia tidak menghendaki kematian ini terjadi, tetapi ia
tahu bahwa hal itu akan terjadi. Klien lanjut usia tidak merasa tenang dan
damai.
a. Luangkan
waktu untuk klien lanjut usia ( mungkin beberapa kali dalam sehari ). Sikap
keluarga akan berbeda dengan sikap klieen lanjut usia. Oleh karena itu,
sediakan waktu untuk mendiskusiakan perasaan mereka.
b. Beri
kesempatan kepada klien lanjut usia untuk mengarahkan perhatianya sebanyak
mungkin. Tindakan ini akan memberi ketenangan dan perasan aman.
2.2.8 Hak
asasi pasien menjelang ajal
Lanjut usia berhak untuk
diperlakukan sebagai manusia yang hidup sampai ia mati. Lanjut usia:
1.
Berhak untuk tetap merasa mempunyai
harapan, meskipun fokusnya dapat saja berubah.
2.
Berhak untuk dirawat oleh mereka yang
dapat menghidupkan terus harapan, walaupun dapat berubah.
3.
Berhak untuk merasakan perasaan dan
emosi mengenai kematian yang sudah mendekat dengan caranya sendiri.
4.
Berhak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan mengenai perawatannya.
5.
Berhak untuk mengharapkan terus mendapat
perhatian medis dan perawatan, walaupun tujuan penyembuhan harus diubah menjadi
tujuan memberi rasa nyaman.
6.
Berhak untuk tidak mati dalam kesepian.
7.
Berhak untuk bebas dalam rasa nyeri.
8.
Berhak untuk memperoleh jawaban yang
jujur atas pertanyaan.
9.
Berhak untuk tidak ditipu.
10. Berhak
untuk mendapat bantuan dari dan untuk keluarganya dalam menerima kematian.
11. Berhak
untuk mati dengan tenang dan terhormat.
12. Berhak
untuk mempertahankan individualitas dan tidak di hakimi atas keputusan yang
mungkin saja bertentangan dengan orang lain.
13. Membicarakan
dan memperluas pengalaman keagamaan dan kerohanian.
14. Berhak
untuk mengharapkan bahwa kesucian tubuh manusia akan dihormati sesudah mati.
2.3 Perawatan
paliatif pada lanjut usia menjelang ajal
2.3.1 Pengertian
Dalam memberi asuhan keperawtan
kepada lanjut usia, yang menjadi objek adalah pasien lanjut usia (core),
disusul dengan aspek pengobatan medis (cure), dan yang terakhir, perawatan
dalam arti yang luas (care). Core, cure, dan care merupakan tiga aspek yang
saling berkaitan dan saling berpengaruh. Kapanpun ajal menjemput, semua arang
harus siap. Namun ternyata, semua orang, termasuk lanjut usia, akan merasa syok
berat saat dokter memvonis bahwa penyakit yang dideritanya tidak bisa di sembuhkan atau tidak ada
harapan untuk sembuh. Pada kondisi ketika lanjut usia menderita sakit yang
telah berada pada stadium lanjut dan “cure” sudah tidak menjadi bagian yang
dominan, “care” menjadi bagian yang paling berperan. Salah satu alternatif
adalah perawatan paliatif.
Perawatan paliatif adalah semua
tindakan aktif untuk meringankan beban penderita, terutama yang tidak mungkin
disembuhkan. Yang dimaksud dengan tindakan aktif antara lain mengurangi
/menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain serta memperbaiki aspek psikologis,
social, dan spiritual.
1. Tujuan
perawatan paliatif.
Tujuan perawatan paliatif adalah
mencapai kualitas hidup maksimal bagi si sakit (lanjut usia) dan keluarganya.
Perawatan paliatif tidak hanya di berikan kepada lanjut usia yang menjelang
akhir hayatnya, tetapi juga diberikan segera setelah di diangnosa oleh dokter
bahwa lanjut usia tersebut menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk
sembuh (mis, menderita kanker). Sebagaian besar pasien lanjut usia, pada suatu
waktu akan menghadapi keadaan yang disebut “stadium paliatif”, yaitu kondisi
ketika pengobatan sudah tidak dapat menghasilkan kesembuhan. Biasanya dokter
memvonis pasien lanjut usia yang menderita penyakit yang mematikan (mis,
kanker, stroke, AIDS) juga mengalami penderitaan fisik, psikologis social,
kultural, dan spiritual.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang medis dan keperawatan, memungkinkan di upayakan
berbagai tindakan dan pelayanan yang dapat mengurangi penderitaan pasien lanjut
usia, sehingga kualitas hidup di akhir kehidupannya tetap baik, tenang dan
mengakhiri hayatnya dalam keadaan iman dan kematian yang nyman. Diperlukan
pendekatan holistik yang dapat memperbaiki kualitas hidup klien lanjut usia.
Kualitas hidup adalah bebas dari segla sesuatu yang menimbulkan gejala, nyeri,
dan perasaan takut sehingga lebih menekankan rehabilitasi daripada pengobatan
agar dapat menikmati kesenangan selama akhir hidupnya. Sesuai arti harfiahnya,
paliatif bersifat meringankan, bukan menyembuhkan. Jadi, perawtan paliatif
diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menumbuhkan semangatdan
motivasi. Perawatan ini merupakan pelayanan yang aktif dan menyeluruh yang
dilakukan oleh satu tim dari berbagai displin ilmu.
2.3.2
Tim
perawatan paliatif
Tim perawatan paliatif terdiri atas tim
terintegrasi, antara lain dokter, perawat, psikolog, ahli fisioterapi, pekerja
social medis, ahli gizi, rohaniawan, dan relawan. Perlu diingat bahwa tujuan
perawatan paliatif adalah mengurangi beban penderitaan lanjut usia. Penderitaan
terjadi bila ada salah satu apek yang tidak selaras, baik aspek fisik maupun
psikis, peran dalam keluarga, masa depan yang tidak jelas, gangguan kemampuan
untuk menolong diri, dan sebagainya.
Untuk memahami dna mengatasi hal tersebut, peran tim
interdisplin menjadi sangat penting / dominan. DR. Siti Annisa Nuhoni, Sp, RM
dalam makalahnya, Konsep perawatan paliatif pada pasien kanker, mengatakan
bahwa apa yang disebut sebagai gambaran klinis pasien tidak hanya gambaran
seseorang yag sakit terbaring di tempat tidur , tetapi merupakan cerminan
pasien sebagai individu dengan lingkungannya, keadaan rumah/tempat tinggalnya ,
pekerjaannya,teman,hobi,kesedihan, dan ketakutan.
Keberhasilan keperawatan paliatif begantung pada
kerjasama yang elektif dan pendekatan interdisplin antara dokter, perawat,
pekerja sosial medis, rohaniawan, /pemuka agama/relawan/dan anggota pelayanan
lain sesuai kebutuhan.
Tim
ini tidak mudah tanpa adanya semangat kebersamaan dalam memberi bantuan kepada
pasien lanjut usia. Pemberi asuhan keperawatan pada pasien harus bekerjasama
secara profesional,ihlas, dan dengan hati yang bersih. Perawatan paliatif
lanjut usia bukan untuk intervensi yang bersifat kritis. Perawatan paliatif
adalah perawatan yang terencana.walaupun dapat terjadi kondisi kritis dan
kedaruratan medis yang tidak terduga, hal ini dapat diantisipasi, bahkan dapat
dicegah melalui ikatan kerja tim yang solid dan kuat .
Bagan kepemimpinan pada perawatan paliatif tidak
berbentuk kerucut , melainkan berbntuk lingkaran dengaan pasien sebagai titik
sentral . kunci keberhasilan kerja interdisiplin bergantung pada tanggung jawab
setiap anggota tim , sesuai dengan kemahiran dan spesialisasinya, sehingga
setiap kali pemimpin berganti, tugas masing-masing tidak akan terganggu.
2.4 Asuhan
keperawatan lansia menghadapi kematian.
2.4.1 Pengkajian
Pengkajian ialah
tahap pertama proses keperawatan. Sebelum perawat dapat merencanakan asuhan
keperawatan pada pasien yang tidak ada harapan sembuh, perawat harus
mengidentifikasi dan menetapkan masalah pasien terlebih dahulu. Oleh karena
itu, tahap ini meliputi pengumpulan data, analisis data mengenai status
kesehatan, dan berakhir dengan penegakan diagnosis keperawatan, yaitu
pernyataan tentang masalah pasien yang dapat diintervensi.
Tujuan
pengkajian adalah memberi gambaran yang terus – menerus mengenai kesehatan
pasien yang memungkinkan tim perawatan untuk merencanakan asuhan keperawatannya
secara perseorangan.Pengumpulan data dimulai dengan upaya untuk mengenal pasien
dan keluarganya. Siapa pasien itu dan bagimana kondisinya akan membahayakan
jiwanya. Rencana pengobatan apa yang telah dilaksanakan ? Tindakan apa saja
yang telah diberikan ? Adakah bukti mengenai pengetahuannya, prognosisnya, dan
pada tahap proses kematian yang mana pasien berada ? Apakah ia menderita rasa
nyeri ? Apkah anggota keluarganya mengetahui prognosisnya dan bagaiman reaksi
mereka ? Filsafat apa yang dianut oleh pasien dan keluarganya mengenai hidup
dan mati. Pengkajian keadaan, kebutuhan, dan masalah kesehatan / keperawatan
pasien khususnya. Sikap pasien terhadap penyakitnya, antara lain apakah pasien
tabah terhadap penyakitnya, apakah pasien menyadari tentang keadaannya ?
1.
Perasaan takut. Kebanyakan pasien merasa
takut terhadap rasa nyeri yang tidak terkendalikan yang begitu sering
diasosiasikan dengan keadaan sakit terminal, terutama apabila keadaan itu
disebabkan oleh penyakit yang ganas. Perawat harus menggunakan pertimbangan
yang sehat apabila sedang merawat orang sakit terminal. Perawat harus
mengendalikan rasa nyeri pasien dengan cara yang tepat.
Perasaan takut yang mungkin takut
terhadap rasa nyeri, walaupun secara teori, nyeri tersebut dapat diatasi dengan
obat penghilang rasa nyeri, seperti aspirin, dehidrokodein, dan dektromoramid.
Apibila orang berbicara tentang perasaan takut mereka terhadap maut, respon
mereka secara tipikal mencakup perasaan takut tentang hal yang tidak jelas,
takut meninggalkan orang yang dicintai, kehilangan martabat, urusan yang belum
selesai, dan sebagainya.
Kematian merupakan berhentinya
kehidupan. Semua orang akan mengalami kematian tersebut. Dalam menghadapi
kematian ini, pada umumnya orang merasa takut dan cemas. Ketakutan dan
kecemasan terhadap kematian ini dapat membuat pasien tegang an stress.
2.
Emosi. Emosi pasien yang muncul pada
tahap menjelang kematian, antara lain mencela dan mudah marah.
3.
Tanda vital. Perubahan fungsi tubuh
sering kali tercermin pada suhu badan, denyut nadi, pernapasan, dan tekanan
darah. Mekanisme fisiologis yang mengaturnya berkaitan satu sama lain. Setiap
perubahan yang berlainan dengan keadaan yang normal dianggap sebagai indikasi
yang penting untuk mengenali keadaan kesehatan seseorang.
4.
Kesadaran. Kesadaran yang sehat dan
adekuat dikenal sebagai awas waspada, yang merupakan ekspresi tentang apa yang dilihat, didengar, dialami, dan
perasaan keseimbangan, nyeri, suhu, raba, getar, gerak, gerak tekan, dan sikap,
bersifat adekuat, yaitu tepat dan sesuai ( Mahar Mardjono dan P. Sidharta, 1981
).
5.
Fungsi tubuh. Tubuh terbentuk atas
banyak jaringan dan organ. Setiap organ mempunyai fungsi khusus.
2.4.2 Diagnosa.
Diagnosis
keperawatan adalah masalah aktual / potensial yang dimiliki seseorang dalam
memenuhi tuntutan atau kegiatan hidup sehari – hari dan yang berhubungan dengan
kesehatan ( Gordon, 1976 ).
Berikut tabel diagnosis
keperawatan:
Data
|
Diagnosis
Keperawatan
|
Status
sistem pernapasan
~ Sesak
napas
~ Batuk
~ Slem
Sistem
pembuluh darah
~ Tekanan
darah
~ Denyut
tubuh
~ Suhu
tubuh
Pernapasan
-
Warna wajah
-
Kesadaran
Sistem
pencernaan
-
Susah menelan
-
Mual, muntah
-
Perih, tidak nafsu makan
-
Diare/obstipasi
-
Kembung, melena
-
Mules
Sistem
perkemihan
-
Bagaimana produksi urinenya ?
-
Berapa jumlahnya ?
Persendian
dan otot (pergerakan)
-
Kekauan sendi dan otot
Kegiatan
sehari-hari
-
Manddi, gosok gigi
-
Ganti pakaian
-
Defekasi dan berkemih mandiri
atau bergantung penuh kepada orang lain
Pola
tidir dan istrahat
-
Bagaimana istirahatnya ?
-
Tidur malam ?
-
Hal-hal yang dirasa menganggu
tidur?
Cemas
memikirkan penyakit dan keluarga yang ada dirumah
|
Gangguan
pemenuhan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan adanya penyumbatan slem
yang ditandai dengan sesak napas
Gangguan
kenyamanan yang berhubungan dengan batuk, panas tinggi yang ditandai pasien
gelisah
Gangguan
kesadaran yang berhubungan dengan dampak patologis degan manifestasi
apatis/koma
Perubahan
nutrisi sebagai dampak patologis dengan menampakkan makanan yang dihabiskan
sering tidak habis.
Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang berhubungan dengan muntah dan diare
yang ditandai dengan turgor jelek, mata cekung, suhu naik.
Gangguan
eliminasi alvi yang berhubungan dengan obstipasi yang ditandai beberapa hari
pasien tidak defekasi
Gangguan
eliminasi urine yang berhubungan dengan produksi urinenya, yang ditandai
dengan jumalah urinenya berapa cc.
Keterbatasan
gerakan yang berhubungan dengan tirah baring lama yang ditandai dengan kaku
sendi/otot
Perubahan
dalam merawat diri sendiri sebagai dampak patologis
Gangguan
psikologis yang berhubungan dengan perubahan pola seksualitas yang ditandai
susah tidur, pucat, murung.
Cemas
yang berhubungan dengan memikirkan penyakitnya dan keluarga
|
2.3.3 Intervensi
Perencanaan
adalah langkah kedua dalam proses keperawatan. Termasuk penentuan apa yang
dapat dilakukan perawat terhadap pasien dan pemilihan intervensi keperawatan
yang tepat.
DK
|
Tujuan
|
Rencana
Intervensi
|
Evaluasi
|
Gangguan kebutuhan oksigen
Gangguan kenyamanan
Perubahan nutrisi
Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit
Gangguan eleminasi alvi
Gangguan eliminasi urine
Keterbatasan pergerakan
Perubahan perawatan diri
Gangguan pola tidur
Kecemasan
|
Kebutuhan oksigen terpenuhi
Rasa nyaman terpenuhi
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Keseimbangan cairan dan elektrolit
terpenuhi
Kebutuhan eliminasi (defekasi)
terpenuhi
Kebutuhan eliminasi (berkemih)
terpenuhi
Kebutuhan pergerakan (sendi dan otot)
terpenuhi
Kebutuhan merawat diri terpenuhi
Kebutuhan istirahat dan tidur
terpenuhi
Rasa cemas hilang/berkurang
|
-
Menciptakan lingkungan yang sehat
-
Mengamati dan mengkaji keadaan
pernapasan pasien
-
Membersihkan slem
-
Melatih pasien untuk pernapasan
-
Mengupayakan penurunan suhu tubuh
-
Memberi obat sesuai dengan
program
-
Mempertahankan kebutuhan nutrisi
yang cukup
-
Mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit
-
Mempertahankan kelancaran
defekasi
-
Mempertahankan kelancaran
berkemih
-
Memenuhi kebutuhan gerak
(mobilisasi)
-
Membantu memenuhi kebutuhan
merawat diri
-
Ciptakan komunikasi yang
terapeutik, dengan member penjelasan kepada pasien tentang pentingnya
istirahat terhadap tubuh
-
Menciptakan lingkungan yang
terapeutik.
|
Kebutuhan oksigen dapat terpenuhi
Rasa nyaman terpenuhi
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kebutuhan cairan dan elektrolit
terpenuhi
Kebutuhan eliminasi (defekasi)
terpenuhi
Kebutuhan eliminasi (berkemih) dapat
terpenuhi
Kebutuhan pergerakan dapat terpenuhi
Perawatan diri dapat terpenuhi
Kebutuhan istirahta dan tidur dapat
trepenuhi
-
Tak ada keluhan, dapat tidur
-
Ekspresi bangun tidur ceria,
segar bugar
Rasa cemas dapat hilang / berkurang
|
BAB 3
TINJAUAN KASUS
2.4 Kasus
Ny.R adalah seorang wanita lemah
keturunan Irlandia yang berusia 88 tahun. Suaminya, meninggal 14 tahun yang
lalu akibat cedera serebrovaskuler. Ny. P tinggal dirumahnya bersama anaknya hingga
satu tahun yang lalu. Pada saat itu ia didiagnosis kanker payudara metastasis
,ia telah menjalani pembedahan, radiasi, dan kemoterapi. Pasien diinformasikan
bahwa harapan hidupnya hanya tinggal kurang dari setahun, pada suatu saat
tiba-tiba kondisinya menurun dan mengalami kondisi yang terminal, pasien
mengalami penurunan keyakinan terhadap tuhannya dan keluarganya pun mengalami
kecemasan akan kondisi terminal yg dihadapi klien
2.5 Pengkajian
- Problem Oksigenisasi : Respirasi irregular, cepat atau lambat, pernafasan cheyne stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah, tekanan darah menurun, hypoksia, akumulasi secret, dan nadi ireguler.
- Problem Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat peristaltic, kurang diet serat dan asupan makanan jugas mempengaruhi konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau kondisi penyakit (mis Ca Colon), retensi urin, inkopntinensia urin terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya : Trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan atau kondisi penyakit mis gagal ginjal.
- Problem Nutrisi dan Cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-pecah, lidah kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan, dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.
- Problem suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai selimut.
- Problem Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea, Pendengaran menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun, pendengaran berkurang, sensasi menurun.
- Problem nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.
- Problem Kulit dan Mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan posisi yang sering.
- Masalah Psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya mengalami banyak respon emosi, perasaaan marah dan putus asa seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang muncul pada pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang control diri, tidak mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan, kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.
- Perubahan Sosial-Spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
2.6 Diagnosa
1.
Ansietas
(ketakutan individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi
yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan
kematian dan efek negatif pada gaya hidup.
2.
Berduka
yang behubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan
fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
3.
Distres spiritual yang berhubungan
dengan perpisahan dari system pendukung keagamaan, atau
ketidakmampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian.
2.7 Intervensi.
1. Diagnosa I : Ansietas (ketakutan
individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan dengan situasi yang tidak
dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan takut akan kematian
dan efek negatif pada pada gaya hidup.
· Tujuan :
Kecemasan pasien dan atau keluarga akan berkurang
/ hilang.
· Kriteria hasil :
Klien atau keluarga akan :
1) Mengungkapkan ketakutannya yang berhubungan
dengan gangguan.
2) Menceritakan tentang efek gangguan pada fungsi
normal, tanggung jawab, peran dan gaya hidup.
· Intervensi :
1) Bantu klien untuk mengurangi
ansietasnya.
· Berikan kepastian dan kenyamanan.
· Tunjukkan perasaan tentang pemahaman
dan empati, jangan menghindari pertanyaan.
· Dorong klien untuk mengungkapkan
setiap ketakutan permasalahan yang berhubungan dengan pengobatannya.
· Identifikasi dan dukung mekanisme
koping efektif Klien yang cemas mempunpunyai penyempitan lapang persepsi denagn
penurunan kemampuan untuk belajar.
R/ : Ansietas cenderung untuk memperburuk masalah.
Menjebak klien pada lingkaran peningkatan ansietas tegang, emosional dan nyeri
fisik.
2) Kaji tingkat ansietas klien :
rencanakan penyuluhan bila tingkatnya rendah atau sedang.
R/
: Beberapa rasa takut didasari oleh
informasi yang tidak akurat dan dapat dihilangkan denga memberikan informasi
akurat. Klien dengan ansietas berat atau parah tidak menyerap pelajaran.
3) Dorong keluarga dan teman untuk
mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka.
R/ :
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberiakn kesempatan untuk
memperbaiki konsep yang tidak benar.
4) Berikan klien dan keluarga
kesempatan dan penguatan koping positif.
R/ :
Menghargai klien untuk koping efektif dapat menguatkan renson koping positif
yang akan datang.
2. Diagnosa 2 : Berduka yang berhubungan
dengan penyakit terminal dan kematian yang dihadapi, penurunan fungsi perubahan
konsep diri dan menarik diri dari orang lain.
· Tujuan :
Pasien dan keluarga siap secara mental
menghadapi kondisi dan kenyataan yang akan terjadi.
· Kriteria Hasil :
· Klien akan :
1) Mengungkapakan kehilangan dan perubahan
2) Mengungkapakan perasaan yang berkaitan
kehilangan dan perubahan
3) Menyatakan kematian akan terjadi
· Anggota keluarga akan melakukan hal berikut :
mempertahankan hubungan erat yang efektif , yang dibuktikan dengan cara sbb :
1) Menghabiskan waktu bersama klien
2) Mempertahankan kasih sayang , komunikasi
terbuka dengan klien
3) Berpartisipasi dalam perawatan
· Intervensi :
1) Berikan kesempatan pada klien dan
keluarga untuk mengungkapkan perasaan, didiskusikan kehilangan secara terbuka,
dan gali makna pribadi dari kehilangan, jelaskan bahwa berduka adalah reaksi
yang umum dan sehat.
R/ :
Pengetahuan bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa kematian
sedang menanti dapat menyebabkan menimbulkan perasaan ketidak berdayaan, marah
dan kesedihan yang dalam dan respon berduka yang lainnya. Diskusi terbuka dan
jujur dapat membantu klien dan anggota keluarga menerima dan mengatasi situasi
dan respon mereka terhdap situasi tersebut.
2) Berikan dorongan penggunaan strategi
koping positif yang terbukti yang memberikan keberhasilan pada masa lalu.
R/ :
Stategi koping fositif membantu penerimaan dan pemecahan masalah.
3) Berikan dorongan pada klien untuk
mengekpresikan atribut diri yang positif.
R/ :
Memfokuskan pada atribut yang positif meningkatkan penerimaan diri dan
penerimaan kematian yang terjadi.
4) Bantu klien mengatakan dan menerima
kematian yang akan terjadi, jawab semua pertanyaan dengan jujur.
R/ :
Proses berduka, proses berkabung adaptif tidak dapat dimulai sampai kematian
yang akan terjadi di terima.
5) Tingkatkan harapan dengan perawatan
penuh perhatian, menghilangkan ketidak nyamanan dan dukungan.
R/ :
Penelitian menunjukkan bahwa klien sakit terminal paling menghargai tindakan
keperawatan berikut :
· Membantu berdandan.
· Mendukung fungsi kemandirian.
· Memberikan obat nyeri saat
diperlukandan.
· Meningkatkan kenyamanan fisik
(skoruka dan bonet 1982).
3. Diagnosa 3 : Resiko terhadap distres
spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari system pendukung keagamaan,
kurang pripasi atau ketidak mampuan diri dalam menghadapi ancaman kematian.
· Tujuan :
Tidak terjadi distres spiritual pada pasien
dan keluarga.
· Kriteria Hasil :
Klien dan keluarga mampu memenuhi kebutuhan
spiritualnya yaitu dapat melakukan sholat dalam keadaan sakit.
· Intervensi :
1) Gali apakah klien menginginkan untuk
melaksanakan praktek atau ritual keagamaan atau spiritual yang diinginkan bila
yang memberi kesemptan pada klien untuk melakukannya.
R/ : Bagi
klien yang mendapatkan nilai tinggi pada do’a atau praktek spiritual lainnya,
praktek ini dapat memberikan arti dan tujuan dan dapat menjadi sumber
kenyamanan dan kekuatan.
2) Ekspesikan pengertian dan penerimaan
anda tentang pentingnya keyakinan dan praktik religius atau spiritual klien.
R/
: Menunjukkan sikap tak menilai dapat membantu mengurangi kesulitan klien dalam
mengekspresikan keyakinan dan prakteknya.
3) Berikan privasi dan ketenangan untuk
ritual spiritual sesuai kebutuhan klien dapat dilaksanakan.
R/
: Privasi dan ketenangan memberikan lingkungan yang memudahkan refresi dan
perenungan.
4) Bila anda menginginkan tawarkan
untuk berdo’a bersama klien lainnya atau membaca buku keagamaan.
R/
: Perawat meskipun yang tidak menganut agama atau keyakinan yang sama dengan
klien dapat membantu klien memenuhi kebutuhan spritualnya.
5) Tawarkan untuk menghubungkan
pemimpin religius atau rohaniwan rumah sakit untuk mengatur kunjungan. Jelaskan
ketidak setiaan pelayanan (kapel dan injil RS).
R/ :
Tindakan ini dapat membantu klien mempertahankan ikatan spiritual dan
mempraktikkan ritual yang penting .
BAB 4
PENUTUP
4.1. Simpulan
Kematian
adalah penghentian permanen semua fungsi tubuh yang vital, akhir dari kehidupan
manusia(Buku Ajar Keperawatan Gerontik : 435).
Pengertian
kematian / mati adalah apabila seseorang tidak teraba lagi denyut nadinya tidak
bernafas selama beberapa menit dan tidak menunjukan segala refleks, serta tidak
ada kegiatan otak.(Nugroho: 153).
4.2. Saran .
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan pada mahasiswa.
1. Dalam membuat makalah, kelompok diharapkan dapat menjelaskan asuhan keperawatan pada lansia mennjelang ajal.
2. Proses
penuaan yang dialami dapat menimbulkan berbagai masalah fisik, psikis dan
sosial bagi pasien dan keluarga. Oleh karena itu perawat sebaiknya meningkatkan
pendekatan-pendekatan melalui komunikasi terapeutik, sehingga akan tercipta lingkungan
yang nyaman dan kerja sama yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan
gerontik.
3. Perawat
sebagai anggota tim kesehatan yang paling banyak berhubungan dengan pasien
dituntut meningkatkan secara terus menerus dalam hal pemberian informasi dan pendidikan
kaesehatan sesuai dengan latar belakang pasien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
.
Maryam,R.Siti, dkk.2008. Mengenal
Usia Lanjut dan Perawatannya.Jakarta:Salemba
Medika.
Mass,Meridean.2011.Asuhan Keperawatan Geriatrik.EGC:Jakarta.
Nugroho, Wahyudi. 2008. Keperawatan
Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC.
Stanley,mickey.2006.Buku Ajar Keperawatan Gerotik edisi 2.EGC:Jakarta.