KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA LANSIA
Kelompok
2 :
1.
Ekawahyuny M. S (101.0033)
2.
Erma Eka A (101.0039)
3.
Friska Retno W.K (101.0045)
4.
Rizki Amelia Y (101.0099)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dengan meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk
lanjut usia berbagai masalah klinis pada pasien lanjut usia akan menjadi
semakin sering dijumpai di praktek klinis. Jumlah penduduk di Indonesia menurut
data Perserikatan Bangsa Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan
jumlah warga lanjut usia yang tertinggi di dunia, yaitu 414 %, hanya dalam
waktu 35 tahun (1990-2025), sedangkan di tahun 2020 diperkirakan jumlah
penduduk lanjut usia akan mencapai 25,5 juta. Menurut Lembaga Demografi
Universitas Indonesia, persentase jumlah penduduk berusia lanjut tahun 1985
adalah 3,4 % dari total penduduk, tahun 1990 meningkat menjadi 5,8 % dan di
tahun 2000 mencapai 7,4 % (Czeresna, 2006).
Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal
pada pasien lanjut usia tidak hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan
tetapi juga tergantung dari perhatian terhadap keadaan sosial, ekonomi,
kultural dan psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan secara
medis pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan
komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan
persoalan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik ini akan sangat membantu dalam
keterbatasan kapasitas fungsional, sosial, ekonomi, perilaku emosi yang labil
pada pasien lanjut usia (William et al., 2007).
Komunikasi adalah elemen dasar dari
interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan
dan meningkatkan kontrak dengan oran lain karena komunikasi dilakukan oleh
seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bawa komunikasi adalah
sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang
melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi
dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu merupakan peristiwa
yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan.
Untuk memperbaiki interpretasi pasien
terhadap pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi kebisingan dan
distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan
pesan karena arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan dalam
mengorganisasi dan mengekspresikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan
sederhana dapat dipakai untuk mengingatkan pasien dan sering sangat membantu.
(Bruner & Suddart, 2001 : 188).
Komunikasi adalah proses interpersonal
yang melibatkan perubahan verbal dan non verbal dari informasi dan ide.
Kominikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi
dimana individu menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ).
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Komunikasi Terapeutik ?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi komunikasi pada pasien lanjut usia ?
3. Bagaimana
teknik komunikasi terapeutik pada lansia ?
4. Apa
saja hambatan komuikasi ?
5. Bagaimana
penggunaan komunikasi terapeutik pada lansia ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Umum
a. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Komunitas III.
b. Mahasiswa
mampu memahami dan membuat makalah Komunikasi Terapeutik Pada Sasaran Lansia.
1.3.2
Tujuan Khusus
a. Mampu
memahami pengertian Komunikasi Terapeutik.
b. Mampu
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi.
c. Mampu
memahami teknik komunikasi terapeutik pada lansia.
d. Mampu
memahami hambatan dalam berkomunikasi.
1.4 Manfaat
1. Mahasiswa
mampu memahami pengertian Komunikasi Terapeutik.
2. Mahasiswa
mampu menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi.
3. Mahasiswa
mampu memahami teknik komunikasi terapeutik pada lansia.
4. Mahasiswa
mampu memahami hambatan dalam berkomunikasi.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Komunikasi
Terapeutik Pada Sasaran Lansia
2.1.1
Karakteristik Lansia
Berdasarkan usianya, organisasi
kesehatan dunia (WHO) menegelompokkan usia lanjut menjadi empat macam, meliputi
:
-
Usia pertengahan (middle age), kelompok
usia 45 sampai 59 tahun.
-
Usia lanjut (elderly), kelompok usia
antara 60 sampai 70 tahun.
-
Usia lanjut usia (old), kelompok usia antara 75 sampai 90
tahun.
-
Usia tua (very old), kelompok usia
diatas 90 tahun.
Meskipun batasan usia sangat beragam untuk
menggolongkan lansia namun perubahan-perubahan akibat dari usia tersebut telah
dapat diidentifikasi, misalnya perubahan pada aspek fisik berupa perubahan
neurologis dan sensorik, perubahan visual, perubahan pendengaran.
Perubahan-perubahan tersebut dapat menghambat proses penerimaan dan
interpretasi terhadap maksud komunikasi. Perubahan ini juga menyebabkan klien
lansia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Belum lagi perubahan kognitif
yang berpengaruh pada tingkat intelegensia, kemampuan belajar, daya memori dan
motivasi klien.
Perubahan emosi yang ering nampak adalah berupa
reaksi penolakan terhadap kondisi yang terjadi. Gejala-gejala penolakan
tersebut misalnya :
- Tidak percaya terhadap diagnosa, gejala,
perkembangan serta keterangan yang diberikan petugas kesehatan.
-
Mengubah keterangan yang diberikan
sedemikian rupa, sehingga diterima keliru.
-
Menolak membicarakan perawatannya di
rumah sakit.
- Menolak ikut serta dalam perawatan
dirinya secara umum, khususnya tindakan yang langsung mengikutsertakan dirinya.
- Menolak nasehat-nasehat misalnya,
istirahat baring, berganti posisi tidur, terutama bila nasehat tersebut demi
kenyamanan klien.
2.1.2
Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi
merupakan suatau hubungan atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan masalah
hubungan atau dapat diartikan sebaagai saling tukar-menukar pendapat serta
dapat diartikan hubungan kontak antara manusia baik individu maupun kelompok.
(Widjaja, 1986 : 13).
Komunikasi
adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk
menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan orang lain. (Potter
& Perry, 2005 : 301).
Indrawati
(2003), mengemukakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien.
Komunikasi
terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar
perilaku, perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim
terapeutik (Stuart dan Sundeen).
2.1.3
Faktor Yang Mempengaruhi
Komunikasi pada Pasien lanjut usia
Komunikasi
dengan pasien lanjut usia dapat menjadi lebih sulit dibandingkan dengan
komunikasi pada populasi biasa sebagai akibat dari gangguan sensori yang
terkait usia dan penurunan memori. Orang ketiga juga dapat menjadi bagian dari
interaksi, karena pasien lanjut usia seringkali ditemani oleh anggota keluarga
yang dicintai yang aktif terlibat pada perawatan pasien dan berpartisipasi
dalam kunjungan. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi efektivitas
komunikasi dengan pasien lanjut usia. Pasien lanjut usia sering hadir dengan
masalah yang kompleks dan beberapa keluhan utama, yang memerlukan waktu untuk
menyelesaikannya.
Untuk setiap
dekade kehidupan setelah usia 40 tahun, pasien kemungkinan mengalami satu
penyakit kronik baru. Sehingga pada usia 80 tahun, orang kemungkinan memiliki
paling tidak 4 penyakit kronis (Vieder et al., 2002). Faktor lain adalah
bahwa pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit bertanya dan menunggu untuk
ditanya sesuai kewenangan dokter (Haug & Ory, 1987;Greene et al.,1989).
Masalah usia atau dikenal dengan istilah ageism juga merupakan hal yang
lazim dijumpai pada perawatan kesehatan dan secara tidak sengaja berperan
terhadap buruknya komunikasi dengan pasien lanjut usia (Ory et al.,
2003)
2.1.4
Kegunaan Komunikasi
Komunikasi berguna untuk pertukaran
informasi dan untuk membina hubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain
komunikasi merupakan aspek dasar pada hubungan antar manusia dan merupakan
sarana untuk berhubungan dengan orang lain. Pada pasien lanjut usia berbagai
bentuk dari penyakit dan ketidakmampuan dapat berpengaruh terhadap proses
komunikasi dan perawatan kesehatannya, sehingga diperlukan cukup perhatian dan
sikap yang baik untuk proses komunikasi tersebut Sering kali terjadi bahwa baik
pihak keluarga maupun medis melupakan atau tidak memperhatikan berbagai
hambatan yang ada untuk tercapainya komunikasi yang efektif pada pasien lanjut
usia yang akhirnya dapat mengakibatkan interpretasi yang keliru terhadap pesan
yang disampaikan maupun yang diterima oleh mereka (Smith & Buckwalter,
1993).
2.1.5
Komponen Pada Proses Komunikasi
1. Pembicara :
Orang yang menyampaikan pesan.
2. Pendengar :
Orang yang menerima pesan.
3. Pesan verbal
: Kata kata yang secara aktual diucapkan atau disampaikan.
4. Pesan
nonverbal: Kesan yang ditangkap saat kata kata tersebut diucapkan termasuk ekspresi
wajah, tekanan suara, postur dan sikap tubuh dan pilihan kosa kata yang digunakan.
5. Umpan Balik
: Respon berupa tanggapan baik verbal maupun non verbal.
6. Konteks :
Fisik dan lingkungan sosial atau pengaturan dalam pesan yang dikirim.
7. Persepsi :
Kemampuan untuk memilih, mengatur, dan menafsirkan informasi indrawi menjadi
dimengerti dan bermakna.
8. Evaluasi :
Kemampuan untuk menganalisa informasi yang diterima, berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan masa lalu.
9. Transmisi :
Ekspresi yang sebenarnya dari informasi dari pengirim kepada penerima (pesan
lisan dan pesan nonverbal) (Smith & Buckwalter, 1993).
2.1.6
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada
lansia
1.
Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”,
kecuali apabila sebelumnya pasien telah meminta anda untuk memanggil panggilan
kesukaannya.
2.
Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien.
3.
Pertahankan kontak mata dengan pasien.
4.
Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan
mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif.
5.
Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya.
6.
Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan
bahasa dan kalimat yang sederhana.
7.
Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien.
8.
Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien.
9.
Menyederhanakan atau menuliskan instruksi.
10. Mengenal
dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien.
11. Mengurangi
kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan yang cukup
saat berinteraksi.
12. Gunakan
sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan, lengan, atau bahu.
13. Jangan
mengabaikan pasien saat berinteraksi (adelman, et al 2000).
2.2 Teknik
Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
2.2.1
Teknik Umum untuk
Berkomunikasi dengan Pasien lanjut usia
a.
Menunjukkan Hormat dan
Keprihatinan
Komunikasi pasien yang baik
didasarkan pada respect atau hormat kepada pasien dan memahami serta
mengapresiasi setiap pasien sebagai sosok manusia yang unik. Untuk menunjukkan
rasa hormat, anda harus menghadapi pasien secara formal dan menyapa dengan “Bapak”
atau “Ibu”, kecuali pasien sebelumnya telah meminta anda untuk memanggil dengan
nama pertamanya, dan hindarkan menggunakan istilah yang merendahkan seperti
“manisku”, “sayangku”, ‘cintaku”.
Berkomunikasi yang saling bertatap
mata dengan duduk di kursi dan langsung menatap pasien. Dengan melakukan hal
ini, anda menunjukkan perhatian sejati dan aktif mendengarkan, serta membantu
pasien untuk mendengar dan memahami anda secara lebih baik. Sentuhan lembut di
tangan, lengan, atau pundak pasien akan menyampaikan rasa turut prihatin dan
perhatian (Adelman et al., 2000).
b. Memastikan bahwa Pasien Didengar dan Dipahami
Mempertahankan langkah yang tidak
tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif antara pasien
lanjut usia dan dokter (Adelman et al., 2000 ; Ory et al., 2003).
Membiarkan pasien lanjut usia untuk berbicara beberapa menit tentang masalahnya
tanpa interupsi akan memberikan lebih banyak informasi daripada riwayat
pendukung yang terstruktur cepat. Merasa sedang diburu-buru akan menyebabkan
mereka merasa bahwa mereka sedang tidak didengarkan atau dipahami
(Adelman et al., 2000). Penelitian menunjukkan bahwa pasien lanjut usia
dan dokter sering tidak sepaham tentang tujuan dan masalah medis yang dihadapi.
Komunikasi yang buruk dapat mengganggu pertukaran informasi serta menurunkan
kepuasan pasien (Greene et al., 1989).
Pada umumnya, anda harus berbicara
pelan, jelas, dan keras tanpa berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang
singkat dan sederhana. Karena pasien lanjut usia umumnya lebih sedikit bertanya
dan menunggu untuk ditanya sesuai kewenangan dokter, khususnya penting untuk sering
merangkum dan memancing pertanyaan (Adelman et al., 2000;Robinson et
al., 2006).
Strategi Umum Tambahan untuk
Memperbaiki Komunikasi dengan Pasien Lanjut Usia.
-
Menggabungkan data pendahuluan sebelum perjanjian
untuk bertemu, karena pasien pasien lanjut usia khas memiliki berbagai masalah
kesehatan yang kompleks.
-
Meminta pasien menceritakan keluhannya hanya sekali
(yaitu tidak bercerita dulu kepada perawat atau asisten kemudian baru kepada
anda) untuk meminimalkan frustasi dan kelelahan pasien.
-
Menghindarkan jargon medis.
-
Menyederhanakan dan menuliskan instruksi.
-
Menggunakan diagram, model, dan gambar.
-
Menjadwalkan pasien lanjut usia terlebih dahulu,
karena mereka umumnya lebih siap dari segi waktu dan secara klinis cenderung
kurang sibuk. Sumber : Adelman et al., 2000;Robinson et al., 2006.
c.
Menghindari Ageism
Salah satu hal terpenting yang harus
diingat ketika berkomunikasi dengan pasien lanjut usia adalah menghindarkan ageism.
Ageism, suatu istilah yang pertama disampaikan oleh Robert Butler, direktur
pertama the National Institute on Aging, adalah systematic
stereotyping dan diskriminasi terhadap seseorang karena mereka berusia
lanjut (Butler, 1969). Ageism adalah hal yang lazim pada perawatan
kesehatan dan dapat direfleksikan dalam tindakan seperti meremehkan masalah
medis, menggunakan bahasa yang bersifat merendahkan, hanya memberikan sedikit
edukasi tentang regimen preventif, menawarkan sedikit pengobatan untukmasalah
kesehatan mental, menggunakan panggilan yang bernada menghina, menghabiskan lebih
sedikit masalah psikososial, dan membuat stereotype orang tua (Ory et al.,
2003).
Untuk menghindarkan ageism, mulailah
mengenal pasien lanjut usia sebagai satu pribadi dengan riwayat dan
penyelesaian yang jelas. Pendekatan ini memungkinkan anda untuk menemui setiap
pasien lanjut usia sebagai individu yang unik dengan pengalaman seumur hidup
yang berharga bukan orang tua yang tidak produktif dan lemah (Roter, 2000).
Juga penting untuk tidak mengasumsikan bahwa semua pasien lanjut usia adalah
sama. Bisa saja dijumpai “orang berjiwa muda” dengan usia 85 tahun serta “orang
berjiwa tua” dengan usia 60 tahun. Setiap pasien dan setiap masalah harus
diperlakukan dengan unik.
d.
Mengenal Kultur dan Budaya
Mengenal latar belakang kultur dan budaya pasien untuk
kemudian mengaplikasikannya dalam komunikasi dokter-pasien lanjut usia juga
merupakan hal penting dalam mempengaruhi persepsi pasien terhadap baik dan
berkualitasnya pelayanan kesehatan yang diberikan dokter (Ong et al.,
1995)
2.2.2
Pendekatan untuk
Berkomunikasi
Ketika berkomunikasi dengan pasien
lanjut usia dengan pendengaran yang berkurang, tataplah pasien sehingga pasien
dapat membaca bibir dan menggunakan isyarat mata. Meminimalkan kebisingan, dan
berbicara pelan, jelas, dan dalam nada yang normal. Berteriak akan menghambat
komunikasi, mengubah nada berfrekuensi tinggi, dan mempersulit pasien untuk
memahami kata-kata anda. Jika suara anda melengking, meredam lengkingan ketika
anda berbicara dapat membantu pasien untuk mendengar anda dengan lebih baik.
Ketika memberikan instruksi untuk medikasi, tes, atau pengobatan, hindarkan
untuk bertanya kepada pasien apakah dia mengerti. Orang dengan gangguan
pendengaran mungkin akan menjawab “ya” tanpa menyadari bahwa mereka belum
mendengar apapun atau salah memahami beberapa informasi.
Pendekatan yang lebih baik untuk
mengecek pemahaman pasien adalah dengan meminta pasien untuk mengulang
instruksi (Adelman et al., 2000). Akhirnya, karena pendengaran memburuk
dikemudian hari, appointment yang lebih awal umumnya lebih baik (Veras
& Mattos, 2007). Jika tersedia, pengeras suara (alat portable yang
memperkuat suara dokter dan memancarkannya ke headphones yang dipakai oleh
pasien) diketahui sangat memudahkan komunikasi dengan pasien yang mengalami
gangguan pendengaran (Fook & Morgan, 2000). Ketika berkomunikasi dengan
pasien dengan gangguan penglihatan, lingkungan klinik dapat diperbaiki dengan
memperbanyak pencahayaan, menggunakan warna-warna kontras untuk membuat objek
lebih jelas (mis. kerangka pintu, kursi yang berada dilantai klinik), dan
menggunakan huruf yang besar serta berwarna kontras untuk setiap tanda. Setiap
bahan dengan tulisan harus dicetak paling tidak dengan huruf berukuran 14
diatas kertas berwarna. Direkomendasikan untuk menggunakan dua sumber cahaya,
pencahayaan untuk latar belakang dan lampu tertutup (Roter, 2000).
Ketika membahas rencana pengobatan,
ingatlah masalah keamanan potensial yaitu gangguan penglihatan. Sebagai contoh,
pasien lanjut usia kadang-kadang akan meletakkan obatnya dalam satu wadah dan
tergantung pada satu warna untuk mengenalinya. Ini dapat menjadi masalah
keamanan, karena banyak obat yang berwarna putih, biru muda, hijau muda, yang
akan terlihat berwarna abu-abu oleh mata yang telah menua. Warna merah, oranye,
dan kuning paling baik dilihat dan dapat digabungkan kedalam perawatan. Pada
contoh lain, pasien yang mengalami kesulitan memastikan dosis insulin dapat
diinstruksikan untuk ditempatkan pada warna merah diatas meja, yang akan
mempermudahnya untuk melihat jarum dan vial. Kertas kontak berwarna merah dapat
dibalutkan pada pegangan untuk berjalan, tongkat atau tabung oksigen untuk
membantu pasien lanjut usia untuk mengambilnya (Adelman et al., 2000).
2.2.2.1
Pendekatan fisik
Mencari informasi tentang kesehatan
obyektif, kebutuhan, kejadian, yang dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat
kesehatan yang masih bisa di capai dan di kembangkan serta penyakit yang dapat
di cegah progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di laksanakan
dan di carikan solusinya karena rill dan mudah di observasi.
2.2.2.2
Pendekatan psikologis
Karena pendekatan ini sifatnya
absrak dan mengarah pada perubahan prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang
lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai
konselor, advokat, supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing atau
sebagai penampung masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrap
bagi klien.
2.2.2.3
Pendekatan social
Pendekatan ini di lakukan untuk
menikatkan keterampilan berinteraksi dalam lingkungan. Mengadakan diskusi,
tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok
merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan
sesama lisan maupun dengan petugas kesehatan.
2.2.2.4
Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa membeikan
kepuasan batin dalam hubunganya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama
ketika klien dalam keadaan sakit.
2.2.3
Hambatan Komuikasi
2.2.3.1 Pasien
dengan Defisit Sensorik
Beberapa pasien menunjukkan defisit
pendengaran dan penglihatan yang terkait dengan usia, keduanya memerlukan
adaptasi dalam berkomunikasi. Penelitian mengindikasikan bahwa 16% - 24%
individu berusia lebih dari 65 tahun mengalami pengurangan pendengaran yang
mempengaruhi komunikasi (Crews & Campbell, 2004 ; Mitchell, 2006). Bagi
mereka yang berusia diatas 80 tahun, jumlah gangguan sensorik meningkat menjadi
lebih dari 60% (Chia et al., 2006). Aging/penuaan mengakibatkan
penurunan fungsi pendengaran yang dikenal sebagai presbyacussis, yang
terutama berkenaan dengan suara berfrekuensi tinggi. Suara berfrekuensi tinggi
adalah suara konsonan yang berdampak pada pemahaman pasien diawal dan akhir
kata. Sebagai contoh, jika anda berkata “Take the pill in the morning (Minumlah
pil dipagi hari)”, pasien akan mendengar vokal dalam kata tetapi pasien dapat
berpikir anda berkata “Rake the hill in the morning (Dakilah
bukit dipagi hari)” (Fook & Morgan, 2000 ; Ross et al., 2007).
Gangguan visual yang berhubungan dengan
usia meliputi reduksi diameter pupil; lensa mata menguning, yang mempersulit
untuk membedakan warna dengan panjang gelombang pendek seperti lavender, biru,
dan hijau; dan menurunkan elastisitas ciliary muscles, yang
mengakibatkan penurunan akomodasi ketika bahan cetakan dipegang diberbagai
jarak. Kebanyakan pasien lanjut usia mengalami penyakit mata yang menurunkan
ketajaman penglihatan (mis. katarak, degenerasi macular, glaucoma, komplikasi
ocular pada diabetes). Lebih dari 15% orang tua berusia lebih dari 70 tahun
melaporkan penglihatannya yang buruk, dan 22% lagi melaporkan penglihatannya
hanya cukup untuk jarak tertentu (Crews & Campbell, 2004). Bagi mereka yang
berusia diatas 80 tahun, 30% melaporkan penglihatannya yang terganggu (Chia et
al., 2006).
2.2.3.2 Pasein
dengan Demensia
Amerika Serikat pada tahun 2008
diprediksi memiliki lebih kurang 5,2 juta penduduk berusia lanjut yang
diantaranya menderita beberapa bentuk demensia, dan jumlahnya diprediksi akan
meningkat dua kali lipat pada 30 tahun yang akan datang (Hingle & Sherry,
2009). Sebagai akibatnya, dokter dapat berharap untuk menemui lebih banyak
pasien demensia dan pasien tersebut datang berkunjung ke dokter ditemani oleh
anggota keluarga atau perawat nonformal lain (Vieder et al.,2002).
(istilah caregiver digunakan dari point ini untuk merujuk pada setiap
orang yang menemani kunjungan yang merupakan informal caregiver).
Penilaian dan pengobatan pasien lanjut usia dengan demensia juga akan sangat
membantu bila melibatkan caregiver (Roter, 2000).
Ada banyak tingkatan demensia, yang
memiliki berbagai kesulitan komunikasi. Pasien pada stadium awal sering
mengalami masalah untuk menemukan kata yang ingin disampaikan, pasien banyak
menggunakan kata-kata yang tidak memiliki makna, seperti “hal ini”, “sesuatu”,
dan “anda tahu”. Pada demensia parah, pasien dapat menggunakan jargon yang
tidak dapat dipahami atau bisa hanya berdiam diri (Orange & Ryan, 2000).
Demensia memiliki efek yang
merugikan pada penerimaan dan ekspresi komunikasi pasien. Sebagian besar pasien
mengalami kehilangan memori dan mengalami kesulitan mengingat kejadian yang
baru terjadi. Sebagian pasien demensia memiliki rentang konsentrasi yang sangat
singkat dan sulit untuk tetap berada dalam satu topik tertentu (Miller, 2008).
2.2.3.3 Pasien yang Ditemani oleh Caregiver
Karakteristik utama kunjungan
poliklinik geriatri adalah adanya orang ketiga, dengan seorang anggota keluarga
atau caregiver informal lainnya yang hadir sedikitnya pada sepertiga
kunjungan geriatrik (Roter, 2000). Meskipun caregiver dapat
mengasumsikan berbagai peran, termasuk pendukung, peserta pasif, atau
antagonis, pada sebagian besar kasus, caregiver menempatkan kesehatan
orang yang mereka cintai sebagai prioritasnya. Caregiver sangat penting
untuk sistem perawatan kesehatan lanjut usia. Mereka tidak hanya membantu
dengan nutrisi, aktivitas kehidupan sehari-hari, tugas rumah tangga, pemberian
obat, transportasi, dan perawatan lain untuk pasien lanjut usia, caregiver membantu
memudahkan komunikasi antara dokter dan pasien serta mempertinggi keterlibatan
pasien dalam perawatan mereka sendiri (Clayman et al., 2005 ; Wolff
& Roter, 2008).
Juga merupakan hal penting untuk
memperlakukan pasien lanjut usia dalam konteks atau sudut pandang caregiver-nya
agar didapatkan hasil terbaik bagi keduanya (Griffith et al., 2004).
Adanya hambatan komunikasi kepada
lansia merupkan hal yang wajar seiring dengan menurunya fisik dan pskis klien
namun sebagai tenaga kesehatan yang professional perawat di tuntut mampu
mengatasi hambatan tersebut untuk itu perlu adanya teknik atau tip-tip tertentu
yang perlu di perhatikan agar komunikasi berjalan gengan efektif anatara lain :
a.
Selalu mulai komunokasi dengan mengecek pendengeran
klien.
b.
Keraskan suara anda jika perlu.
c.
Dapatkan perhatian klien sebelum berbicara. Pandanglah
dia agar dia dapat melihat mulut anda.
d.
Atur lingkungan sehinggga menjadi kondusif untuk
komunikasi yang baik. Kurangi gangguan visual dan auditory. Pastikan adanya
pencahayaan yang cukup.
e.
Ketika merawat orang tua dengan gangguan komunikasi,
ingat kelemahannya. Jangan menganggap kemacetan komunikasi merupakan hasil
bahwa klien tidak kooperatif.
f.
Jangan berharap untuk berkomunikasi denagn cara yang
sama dengan orang yang tidak mengalami jangguan. Sebaliknya bertindaklah
sebagai partner yang tugasnya memfasilitasi klien untuk mengungkapkan perasaan
dan pemahamannya.
g.
Berbicara dengan pelan dan jelas saat menatap matanya gunakan
kalimat pendek dengan bahasa yang sederhana.
h.
Bantulah kata-kata anada dengan isyarat visual.
i.
Bahasa tubuh anda denagn pembicaraan anda, misalnya
ketika melaporkan hasil tes yang di inginkan, pesan yang menyatakan bahwa
berita tersebut adalah bagus seharusnya di buktikan dengan ekspresi, postur dan
nada suara anda yang menggembirakan (misalnya denagn senyum, ceria atau tertawa
secukupnya).
j.
Hal-hal yang paling penting dari pembicaraan tersebut.
k.
Berilah klien waktu yang banyak untuk bertanya dan
menjawab pertanyaan anda.
l.
Biarkan ia membuat kesalahan jangan menegurnya secara
langsung, tahan keinginan anda menyelesaikan kalimat.
m. Jadilah
pendengar yang baik walaupun keinginan sulit mendengarkanya.
n.
Arahkan ke suatu topic pada suatu saat.
o.
Jika mungkin ikutkan keluarga atau yang merawat
ruangan bersama anda. Orang ini biasanya paling akrap dengan pola komunikasi
klien dan dapat membantu proses komunikasi.
2.3 Penggunaan
Komunikasi Terapeutik Pada Lansia
2.3.1
Komunikasi Terapeutik pada Lansia dengan Masalah Fisik
Maupun Mental
1.
Lansia dengan Gangguan Pendengaran :
a.
Berdiri dekat menghadap klien.
b.
Bertanya diarahkan pada telinga yang lebih baik.
c.
Berikan perhatian dan tunjukkan wajah saudara.
d.
Tegurlah nama sebelum pembicaraan dimulai.
e.
Gunakan pembicaraan yang keras, jelas, pelan, dan
diarahkan langsung pada klien.
f.
Hindari pergerakan bibir yang berlebihan.
g.
Hindari memalingkan kepala, tidak berbalik atau
berjalan saat bicara.
h.
Jika klien belum memahami, ulangi dengan menggunakan
kata – kata yeng berbeda.
i.
Membatasi kegaduhan lingkungan.
j.
Gunakan tekanan suara yang sesuai.
k.
Berilah instruksi sederhana untuk mengevaluasi
pembicaraan.
l.
Hindari pertanyaan tertutup, gunakan kalimat pendek
saat bertanya.
m.
Gunakan bahasa tubuh yang sesuai dengan isi
komunikasi.
2.
Lansia dengan tidak dapat mendengar (deaf) :
a.
Hampir sama dengan klien yang mengalami gangguan
pendengaran, tetapi ditambah dengan beberapa teknik, yaitu :
b.
Menulis pesan jika klien dapat membaca.
c.
Gunakan media (gambar) untuk membantu komunikasi.
d.
Pernyataan dan pertanyaan yang singkat.
e.
Gunakan berbagai macam metode untuk menyampaikan
pesan, contoh : body language.
f.
Sempatkanlah waktu bersama klien.
3.
Lansia dengan gangguan penglihatan :
a.
Perkenalkan diri, dekati klien dari depan.
b.
Jelaskan kondisi tempat dan orang yang ada.
c.
Bicaralah pada saat Anda mau meninggalkan tempat.
d.
Pada saat saudara berbicara pastikan klien tahu tempat
saudara.
e.
Katakan pada klien apa yang dapat mebantunya seperti
lampu, membacakan.
f.
Biarkan klien memegang tangan saudara sebagai petunjuk
dan jelaskan apa yang sedang saudara kerjakan.
g.
Jelaskan jalan – jalan apa bisa dilalui oleh klien.
h.
Sanjunglah kemampuan beradaptasi dan kemandirian
klien.
4.
Lansia dengan Afasia
Afasia merupakan gangguan fungsi
bahasa yang disebabkan cidera atau penyakit pusat otak. Ini termasuk gangguan
kemampuan membaca dan menulis dengan baik, demikian juga bercakap – cakap,
mendengar, berhitung, menyimpulkan dan pemahaman terhadap sikap tubuh. Dimana
penyebab afasia pertama adalah stroke, cedera kepala, dan tumor otak (Brunner
dan Siddart, 2001).
5.
Lansia dengan penyakit Alzheimer :
Penyakit Alzheimer (AD) kadang
disebut sebagai demensia degeneratif primer atau demensia senil jenis Alzheimer
(SDAT) merupakan penyakit neurologis degeneratif, progresif, ireversibel, yang
muncul tiba – tiba dan ditandai dengan penurunan bertahap fungsi kognitif dan
gangguan perilaku dan efek (Brunner dan Siddart, 2001).
Keadaan yang terjadi pada pasien
yang menderita Alzheimer diantaranya terjadi keadaan mudah lupa dan kehilangan
ingatan bahkan klien dapat kehilangan kemampuannya mengenal wajah, tempat, dan
objek yang sudah dikenalnya serta kehilangan suasana kekeluargaannya. Perubahan
kepribadian biasanya negatif. Pasien dapat menjadi depresif, curiga, paranoid,
kasar, dan bahkan kejam. Kemampuan berbicara buruk sampai pembentukan suku kata
yang tidak masuk akal. Perawatan diri memerlukan bantuan, termasuk makan dan
toileting.
Teknik komunikasi yang digunakan adalah :
a.
Selalu berkomunikasi dari depan lansia.
b.
Bicaralah dengan cara dan nada yang normal.
c.
Bertatap muka.
d.
Mnimalkan gerakan tangan.
e.
Menghargai dan pertahankan jarak.
f.
Cegah setting ruangan yang memberikan stimulasi
yang banyak.
g.
Pertahankan kontak mata dengan senyum.
h.
Ikuti langkah klien dan bicaralah padanya.
i.
Bertanyalah hanya dengan satu pertanyaan.
j.
Mengangguklah dantersenyum bila memahami perkataannya.
6.
Lansia yang menunnjukkan kemarahan :
a.
Klarifikasi penyebab marah yang terjadi.
b.
Bantu dan dorong klien mengungkapkan marah dengan
konstruktif.
c.
Gunakan pertanyaan terbuka.
d.
Luangkan waktu setiap hari bersama klien.
e.
Puji dan dukung setiap usaha dari klien.
7.
Lansia yang mengalami kecemasan :
a.
Dengarkan apa yang dibicarakan klien.
b.
Berikan penjelasan secara ringkas dan jelas apa yang
terjadi.
c.
Identifikasi bersama klien sumber – sumber yang
menyebabkan ketegangan atau keemasan.
d.
Libatkan staf dan anggota keluarga.
8.
Lansia yang menunjukkan penolakan :
a.
Kemukakan kenyataan perlahan lahan.
b.
Jangan menyokong penolakan klien.
c.
Bantu klien mengungkapkan keresahan atau perasaan
sedihnya.
d.
Libatkan keluarga.
9.
Lansia yang mengalami depresi :
a.
Lakukan kontak sesering mungkin.
b.
Beri perhatian terus – menerus.
c.
Libatkan klien dalam menolong dirinya sendiri.
d.
Gunakan pertanyaan terbuka.
e.
Libatkan staf dan anggota dalam memberikan perhatian.
2.3.2
Tips untuk Komunikasi yang
Efektif dengan Pasien lanjut usia
a. Strategi
Umum
1. Persiapkan
lingkungan ruang pemeriksaan, memperbanyak penerangan dan menurunkan kebisingan
(mempertimbangkan kemungkinan berkurangnya penglihatan dan pendengaran).
2. Memanggil
pasien dan anggota keluarga dengan sebutan “Bapak” atau “Ibu” dan menghindarkan
sebutan “manis”, “sayang”, atau “cintaku”.
3. Bicaralah
dengan pelan, jelas, tanpa berteriak, menggunakan nada yang kalem dan ekspresi
yang menyenangkan.
4. Gunakan
sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan, lengan, atau bahu.
5. Pertahankan
langkah yang tidak tergesa-gesa, membiarkan pasien selama beberapa menit untuk
mengekspresikan masalahnya jika mampu.
6. Memastikan
bahwa agenda pasienlah yang anda hadapi.
7. Meminta
pasien lanjut usia untuk mengulang kembali setiap instruksi yang penting.
8. Memberikan
instruksi tertulis paling tidak dengan huruf berukuran 14.
9. Ingatlah
pentingnya masalah psikososial ketika merawat pasien lanjut usia.
b.
Gangguan Kognitif Pasien
1.
Jangan mengabaikan pasien.
2.
Bertanyalah dengan pertanyaan sederhana yang hanya
memerlukan jawaban “ya” atau “tidak” dan bahasa tubuh sederhana.
3.
Ketika melakukan pemeriksaan, berikan instruksi satu
persatu.
c.
Pertemuan dengan Keterlibatan Pihak Ketiga.
1.
Persiapkan lingkungan ruang pemeriksaan dengan 3 kursi
dalam bentuk segitiga.
2.
Pada mulanya berikan pertanyaan kepada pasien,
kemudian mintalah masukan dari pendamping pasien.
3.
Mintalah pasien dan pendamping pasien untuk mengulang kembali
setiap instruksi yang penting.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ciri
hubungan atau komunikasi terapeutik adalah berpusat pada klien lansia,
menghargai klien lansia sebagai individu yang unik dan bebas, meningkatkan
kemampuan klien lansia untuk berpartisipasi dengan aktif dalam mengambil
keputusan mengenai pengobatan dan perawatannya, menghargai keluarga,
kebudayaan, kepercayaan, nilai-nilai hidup dan asasi dari klien lansia,
menghargai privasi dan kerahasiaan hubunga pemberi asuhan atau perawat dengan
klien lansia, dan saling percaya, menghargai, dan saling menerima.
Hubungan
membantu ini akan menjadi lebih efektif apabila ada rasa saling percaya dan
saling menerima antara perawat atau pemberi asuhan harus menunjukkan rasa
peduli pada kliennya (lansia) dan mau membantunya.
3.2 Saran
Seorang
perawat atau pemberi asuhan yang mendengarkan klien lansia tidak saja memakai
telinganya tetapi seluruh eksistensi dirinya. Perawat atau pemberi asuhan
memfokuskan seluruh perhatiannya tidak hanya pada apa yang disampaikan lansia,
tetapi bagaimana lansia itu menyampaikannya. Melalui sikap tubuh dari perawat
atau pemberi asuhan, lansia dapat merasakan apakah perawat atau pemberi asuhan
siap dan berminat untuk mendengarkannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Nugroho, Wahjud.
2008. Keperawatan Gerontik &
Geriatrik. Jakarta : EGC.
Nugroho, Wahudi.
2009. Komunikasi dalam Keperawatan
Gerontik. Jakarta : EGC.
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi dalam
Pelayanan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Brunner
& Suddarth.2001.Keperawatan
Medikal-Bedah edisi 8 volume 1.Jakarta : EGC
Keliat,
Anna. 1996. Hubungan Terapeutik. Jakarta : EGC